Rabu, 09 Juli 2008

DPR VS KPK, Turnamen Politik yang Tidak Menghibur

Setelah hampir satu bulan kita disuguhi turnamen sepak bola paling prestesius dalam ajang Piala Eropa (Euro 2008), di Indonesia, kita disuguhi turnamen pertaruhan reputasi tingkat tinggi dua lembaga negara terhormat antara KPK VS DPR. Turnamen politik yang sebenarnya telah berlangsung lama ini kembali memanas setelah salah satu anggota dewan yang terhormat lagi-lagi diciduk oleh pasukan KPK karena diduga menerima suap terkait pengadaan kapal patroli di Dephub. Jika dalam arena Euro kita mendapat suguhan yang menarik pada pertandingan final Spanyol melawan Jerman dalam perebutan supremasi sepak bola tertinggi di benua biru tersebut, di Jakarta, kita mendapati tontonan yang justru memuakkan dan tidak mengibur.

Bulyan Royan, anggota DPR dari Fraksi Partai Bintang Reformasi (PBR), menjadi aktor utama even ini. Anggota komisi V tersebut tertangkap tangan oleh KPK sedang menerima suap sebesar 66.000 dollar AS dan 5.500 euro (sekitar Rp. 700 juta) di sebuah money changer di kawasan Plaza Senayan, Jakarta, Senin (30/6) lalu. Peristiwa ini membuka mata masyarakat tentang prilaku politisi yang kerap kontras dengan atribut kehormatan yang disandang lembaganya.

Imagologi dan Dilem Birokrasi

Dalam kasus pengadaan kapal patroli Dephub yang menjadi skandal di komisi V DPR RI saat ini, kita memang tidak seharusnya memaknai sebagai pertarungan penuh sintimen antara kedua lembaga itu, namun di satu sisi lebih tepat dimaknai sebagai kemajuan KPK dalam mengungkap skandal korupsi yang menggurita di lingkungan birokrasi. Namun ironisnya, setiap langkah maju KPK harus dibayar mahal dengan citra buruk yang didapat DPR. Satu sisi kita bangga ada lembaga negara yang begitu progresif menjalankan tanggungjawabnya, di sisi lain kita menanggung rasa malu, kecewa dan marah akibat semakin banyaknya birokrasi yang terungkap boroknya. Inilah dilema birokrasi yang harus ditanggung Indonesia.

Dilema ini muncul akibat seluruh jajaran institusi pemerintahan tidak mengindahkan kode etik yang seharusnya bekerja demi kepentingan masyarakat. Yang dilakukan birokrasi selama ini, kalau kita baca lebih jauh, bukan berlomba-lomba menunjukkan komitmen kerakyatan yang berorioentasi kepada pelayanan publik baik, akan tetapi justru berlomba-lomba bagaimana menyembunyikan intrik politik kotor agar tidak terekspose publik. Bukan bagaimana menunjukkan dirinya sebagai lembaga yang kredibel dan akuntabel, namun bagaimana menutupi agar setiap institusi di birokrasi pemerintahan seolah-olah bekerja sesuai undang-undang, padahal kenyataannya sibuk melakukan rekayasa sistemik agar setiap kebijakan tidak tampak boroknya.

Inilah yang disinyalir Jurgen Habermas sebagai imagologi, semacam kecendrungan image building untuk mendongkrak kesan dan pencitraan ketimbang substansi dari hal yang dilakukan. Imagologi dalam konteks politik justru lebih parah lagi, karena bukan pencitraan saja yang dipertaruhkan, namun lebih dari itu kebohongan terhadap rakyat justru dibungkus dengan sikap yang mengesankan seolah kepedulian. Itulah yang dilakukan lembaga terhormat itu di Senayan. Secara nilai-institusional, lembaga itu tepatlah terhormat karena dimaksudkan sebagai “lidah rakyat“ yang menyampaikan aspirsinya kepada pemerintah, akan tetapi, prilaku anggotanya sama sekali tidak pantas untuk disebut terhormat.

Political Distrust

Menyikapi peristiwa ini ketua Badan Kehormatan (BK) DPR, Gayus Lumbuan, tidak punya pilihan lain kecuali mendukung langkah KPK untuk terus mengusut dugaan korupsi tersebut sampai tuntas. Ada dua asumsi yang bisa diajukan dalam hal ini. Pertama, Dewan BK DPR memang ingin bersikap kooperatif terhadap KPK dalam mendukung terciptanya supremasi hukum. Kedua, bisa dikatakan sebagai sikap cuci tangan DPR secara kelembagaan yang menegaskan bahwa lembaga bagaimanapun harus dijaga kehormatan dan reputasinya di mata rakyat.

Tapi persoalannya tidak sesederhana itu. Bukan soal mendukung langkah KPK atau tidak, yang harus dilakukan BK adalah bagaimana mensterilkan lembaga perwakilan rakyat itu dari para anggota dewan yang inmoral. Karena kalau tidak, akibatnya bukan dewan saja yang terkena imbasnya, akan tetapi pemimpin rakyat secara umum akan melihat terjadinya political distrust yang parah di kalangan masyarakat.

Indikasi ini telah nampak pada ketidakpuasan masyarakat terhadap para pemimpin mereka yang berlaga dalam arena pemilihan pilkada/pilgub. Kita bisa melihat frekuensi golput di beberapa daerah yang melakukan pemilihan gubernur, grafik massa golput bahkan lebih banyak dari suara mayoritas yang diraih cagub/cawagub. Hal ini menunjukkan adanya krisis yang mengkhawatirkan dalam konteks relasi rakyat dan pemimpinnya. Political distrust patut diwasapadai karena menjelang momentum pemilu 2009 masyarakat begitu diharapkan apresiasi serta partisipasi aktifnya mensukseskan pesta demokrasi tersebut. Dengan bertambahnya jumlah masyarakat yang golput, apa jadinya demokrasi di Indonesia. Demokrasi akan tercederai substansinya jika jumlah pemilih kalah dibanding jumlah yang golput. Dan itu disebabkan oleh political distrust yang menggejala akibat ketidakpuasan rakyat kepada pemimpin-pemimpin mereka, bukan kesalahan teknis seperti yang sering di tuduhkan selama ini.

Agenda mendesaknya jelas. Semua elemen kelembagaan harus melakukan seleksi ketat terhadap orang-orang di lingkungan birokrasi. Apa lagi di DPR, pola rekruetmen partai hendaknya lebih ketat agar okmun politisi busuk yang akan merusak reputasi dewan bisa terjaring. Setiap partai harus diperingatkan agar tidak mengirimkan delegasi-delegasi opurtunis yang melulu mengincar kepentingan pribadi dan golongan, namun delegasi yang betul-betul mengharumkan citra dewan. Ini penting karena menyangkut kepentingan bangsa dalam jangka panjang dan skala yang luas. Potret KPK VS DPR jangan sampai terjadi berulang-ulang. Meski fakta penangkapan anggota DPR oleh KPK itu bukan tontonan, akan tetapi kesan bahwa DPR sedang melakonkan turnamen di pentas politik akan menjadi tontonan seluruh elemen masyarakat yang tentu saja tidak memberi hiburan apa-apa kecuali perasaan sakit dan kecewa.