Senin, 14 Juli 2008

MENCERMATI PERGESERAN KARAKTER BAHASA MEDIA

(Studi Terhadap Koran Kompas)

Pendahuluan
Setiap media massa mempunyai ekspresi bahasa yang berbeda dalam menyampaikan pesannya kepada pembaca. Perbedaan ekspresi atau karakteristik bahasa ini amat ditentukan oleh beberapa hal; antara lain segmentasi pasar, ideologi, kategori, serta yang tak kalah penting adalah konteks sosial politik, budaya, dan agama dimana media itu terlibat dalam proses komonikasi dengan pembacanya.
Hal tersebut menjadi keniscayaan dalam industri media karena tidak bisa tidak bahasa sebagai alat komonikasi harus menyesuaikan diri dengan kontek dimana bahasa itu dipakai. Media massa, khususnya media cetak, yang secara khusus menyajikan berita tentang kriminalitas, misalnya, cenderung memilih bahasa yang keras dan sarkastik. Sementara media massa dengan spesialisasi bidang ekonomi dan bisnis, tentu akan menggunakan bahasa yang lugas, bebas dari metafor, serta jauh dari multi-tafsir.
Begitupun media yang khusus membahas tentang kesehatan, otomotif, teknologi informasi, pertanian, kuliner, atau jenis wirausaha lainnya, akan memperlakukan medium bahasa dengan corak yang sama sekali berbeda dengan media-media yang bergerak dalam kategori seperti misalnya; kesenian, sastra atau jurnal filsafat. Tulisan ini akan membahas bagaimana konteks sosial politik, budaya dan agama memberi pengaruh yang tak kecil terhadap pergeseran karakter bahasa suatu media, khususnya Koran Kompas, yang memang menjadi obyek kajian dari tema tulisan ini.
Analisis
Koran Kompas adalah sebuah media cetak yang cukup konkren terhadap aspek-aspek pembalajaran dengan etika jurnalistik yang sangat ketat penerapannya. Dilihat dari pemberitaannya, harian ini mempunyai ciri khas kemendalaman pemberitaan yang jarang ditemukan dalam koran atau media cetak yang lain. Sebagian besar dari berita yang diturunkan Kompas mengadopsi penulisan Deep News atau pengupasan berita yang tidak sekedar reportase mentah dari sebuah peristiwa (event), akan tetapi disertai analisis yang ringkas namun mendalam serta kemungkinan-kemungkinan efek sosiologis dari terjadinya suatu peristiwa. Dari segi pembahasaan hasil reportase, koran kompas cenderung menggunakan bahasa yang kalem, sederhana, lunak, obyektif, tidak begitu tajam, sedikit retorika, miskin metafor, dan dilihat dari judul-judul beritanya, kurang membuat orang tertarik.
Dengan begitu, Kompas berbeda dengan Jawa Pos, misalnya, yang lebih memilih menggunakan bahasa bombastis dan tajam dalam tiap pemberitaannya. Juga Koran Tempo yang sangat kentara nuansa estetisnya dan kritisnya dalam menggunakan bahasa. Inilah alasan mengapa kemudian Kompas dicap sebagai Koran yang menjalankan pola Jurnalisme Pastoral, yaitu karakter dalam jurnalistik yang tidak berani subversiv terhadap kekuasaan sambil mementingkan pengajaran ketimbang mengeksplor sisi estetik atau sarkasme dari sebuah pemberitaan. Karakter ini berbeda jauh dengan apa yang dipraktekkan Tempo sebagai media yang setia dengan pakem Jurnalisme Sastrawi, yakni karakter dalam jurnalistik yang lebih mengelaborasi sisi keindahan dalam reportase pemberitannya.
Ciri khas Kompas ini sangat kentara sebelum masa reformasi tiba, dimana pers masih dikontrol ketat oleh penguasa. Berikut ini, sebagai conoth, disertakan kliping berita Kompas tahun 1992 untuk sedikit melihat karakteristik bahasa yang digunakan harian ini.
KEPERCAYAAN ASING PADA INDONESIA PULIH”
Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pemberian tingkat kepercayaan (credit rating), Standard and Poors, Senin (20/7) menyatakan, tingkat kepercayaan dunia internasional pada Indonesia kini bersifat positif dan Indonesia kini mempunyai nilai yang ditandai dengan minus BBB, sebagai hasil dari usaha merombak secara mendasar pada perekonomiannya selama dekade 1980-an. Indonesia kini memiliki usaha swasta yang berkembang pesat dan juga mengalami perkembangan di sektor nonmigas. Perusahaan itu menambahkan, sejak tahun 1986 sampai 1991, Produk Domestik Bruto Indonesia mengalami pertumbuhan sebesar 6,4 persen per tahun, sementara volume investasi dan ekspor juga meningkat hampir dua kali lipat, pada periode yang sama.(AFP/mon)
Dari kutipan berita di atas tampak jelas sekali bahwa Judul berita di Kompas pada tahun sebelum kekuasaan Orba tumbang, sangat miskin akan retorika. Tidak ada kreasi pemilihan redaksional judul sehingga pembaca kemudian tertarik atau minimal terdorong untuk membaca isi berita. Dalam pemberian judul, harian ini lebih memilih mencatut dari isi secara mentah dan apa adanya, tanpa sedikitpun berinisiatif menggunakan bahasa yang lebih arogan. Coba cermati beberapa judul berikut ini:
“PT. Semen Andalas Lakukan Restrukturisasi Pemilikan Saham.”
“Masalah Sumber Daya Manusia Paling Penting dalam Laporan Bank Dunia.”
“RI Harapkan Bantuan 4,8 Milyar Dollar AS.”
Judul di atas mengindikasikan bahwa harian Kompas lebih memilih akurasi isi ketimbang persoalan judul. Karakteristik seperti ini membuat Kompas di satu sisi tampak dewasa, namun di sisi lain bisa timbul kebosanan bagi pembaca ketika membaca sekilas judul berita Kompas.
Sebagai harian umum, kompas jelas menginginkan bahwa sajian-sajian beritanya bisa dinikmati oleh setiap kalangan, dengan bahasa yang dapat langsung dimengerti oleh semua kalangan pula, bahkan kalangan awam sekalipun. Dalam kriteria penulisan artikel bagi penulis lepas pun, kompas memasukkan item kebahasaan dengan rinci. Berikut akan dikutipkan kriteria penulisan artikel di harian kompas: “Artikel ditulis dengan bahasa populer, yang mudah dimengerti oleh semua kalangan, bahkan masyarakat awan sekalipun. Karena Kompas adalah harian umum, bukan jurnal yang mewakili fak atau disiplin ilmu tertentu.”
Dari fenomena di atas, dapat disimpulkan bahwa kompas merupakan koran yang cenderung konvensional dalam hal pemilihan judul dan penyajian berita, yang cenderung kolot dalam seni berbahasa. Terutama saat kontrol terhadap pers begitu ketat dari pihak penguasa di masa Orde Baru.
Konteks Politik dan Perkembangan Ilmu Sosial sebagai Pemicu
Namun demikian, bukan berarti kompas lantas menjadi jumud dan sama sekali tertutup dari angin perubahan, terutama angin yang dibawa reformasi sejak Orba tumbang. Alam demokrasi yang ditandai dengan kebebasan pers, telah ikut membentuk pola serta karekteristk media massa, tak terkecuali kompas mengalami pergeseran yang cukup signifikan.
Dalam penelitiannya, Endro Sutrisno dari IKIP PGRI Madiun dan Susi Harliani dari Institut Teknologi Surabaya, yang dipresentasikan dalam forum Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya di Jakarta, Rabu 16 Februari 2005, menunjukkan bahwa pergeseran pola komunikasi itu berjalan paralel dengan gerakan reformasi. Penggunaan bahasa dalam media massa (cetak) Indonesia selama tiga tahun terakhir menunjukkan fenomena menarik. Penggunaan metafora sebagai cermin komunikasi masyarakat berbudaya kini tereduksi oleh pemakaian ungkapan-ungkapan vulgar dalam intensitas cukup tinggi. Kenyataan ini mengindikasikan terjadinya pergeseran tata nilai dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Bahkan, pada beberapa kasus, ada kesan rasa hormat masyarakat terhadap para tokohnya telah tereduksi sedemikian rupa, sebagaimana tercermin dari munculnya ungkapan-ungkapan vulgar tersebut. Hal itu terjadi karena terbangunnya kebebasan pers seiring lahirnya gerakan reformasi. Alasan sosial-politik adalah kata kunci dari pergeseran karakteristik media cetak.
Penggunaan istilah-istilah yang tergolong vulgar di sejumlah media cetak yang dijadikan bahan analisis, dalam hal ini juga harian Kompas, dari hari ke hari cenderung meningkat. Contoh, ketika popularitas penyanyi Inul Daratista muncul ke permukaan, di harian Kompas tiba-tiba terbaca judul tulisan yang menyertakan kosakata tergolong vulgar: "Pantat Inul adalah Wajah Kita Semua". Di dalam tulisan itu tertuang kalimat, "Orang bahkan mendambakan 'pantatnya' Inul, dan membayar untuk 'dipantati' Inul" Juga ditemukan penggunaan metafora "dijual" dan "menjual", yang sudah bisa dikategorikan vulgar. Itu bisa disimak pada kalimat, "Mereka khawatir Amien Rais tidak akan laku lagi 'dijual' dalam Pemilu 2004".
Kecenderungan ini sesungguhnya berlaku umum pada media massa di Indonesia, tidak hanya Kompas, terutama sejak era reformasi. Anehnya, masyarakat pembaca pun seolah tidak lagi risi dengan istilah-istilah vulgar tersebut.
Fenomena ini menunjukkan bahwa masyarakat mulai ingin lebih cepat mengungkapkan pesan (struktur batin) tanpa lebih panjang mengalami seleksi leksikon, yang dimotori pertimbangan budaya, sebagaimana yang dilakukan jika menggunakan metafora. Sangat boleh jadi, semua itu cermin dari sikap pragmatis yang dimotivasi oleh pergeseran tata nilai di masyarakat. Jika lazimnya istilah-istilah vulgar itu digunakan dalam kondisi emosional atau marah, kini kondisi psikis tersebut tak lagi diperlukan. Dari sudut pandang semantik-pragmatik, ini dapat disebut pergeseran pola komunikasi dalam masyarakat Indonesia. Jika semula dikenal berkonteks budaya tinggi lewat bahasa metaforanya, kini mulai bergeser ke masyarakat berkonteks budaya rendah dengan kecendrungan umum penggunaan bahasa-bahasa vulgar.
Dalam pergeseran pola berbahasa ini, Kompas, di satu sisi memang banyak dipengaruhi iklim politik yang lebih demokratis setelah Orba berakhir. Akan tetapi di lain pihak, perkembangan ilmu-ilmu sosial, seperti ilmu hermeneutika dan semiotik, juga turut memberi pengaruh yang besar terhadap hal tersebut. Perkembangan ilmu sosial menandakan semakin majunya suatu kebudayaan. Semakin maju suatu kebudayaan, semakin kompleklah kesadaran masyarakat. Sementara kesadaran masyarakat, jika kita cermati, tidak bisa lepas dari kesadaran akan pola berbahasa yang menjadi unsur pokok dari kesadaran kebudayaan itu, karena merupakan konvensi suatu kebudayaan. Dengan kata lain, perkembangan kebudayaan meniscayakan perkembangan keilmuan, perkembangan keilmuan mengandaikan kemajuan taraf berbahasa yang semakin komplek, yang pada saat bersamaan berkembang seiring kemajuan ilmu-ilmu sosial dalam merumuskan dinamika sosial-budaya itu sendiri.
Di sini bahasa begitu banyak menanggung dikursus akibat dari perkembangan ilmu-ilmu sosial tersebut, sehingga hubungan antara bahasa, sebagai sistem tanda, bekerja dalam tingkat kompleksitas yang tinggi. Dalam iklim perkembangan itu komunikasi dipandang sebagai produksi dan pertukaran makna (productions and exchange of meaning). Pandangan ini memperhatikan bagaimana pesan berhubungan dengan penerimanya untuk memproduksi makna.
Jika aliran proses memperlihatkan penguasaan makna pada sumber atau pengirim pesan, aliran semiotik justru membalik peran penguasaan makna kepada penerima pesan. Penerima pesan mempunyai otoritas mutlak untuk menentukan makna-makna yang ia terima dari pesan, sehingga peran sender cenderung terabaikan. Demikian juga, apa yang disebut sebagai pesan (message) pada paradigma ini seringkali disebut sebagai teks. Dalam kaitannya dengan produk media, seluruh pesan media dalam bentuk tulisan, visual, audio, bahkan audiovisual sekalipun akan dianggap sebagai teks. Jangkauan pemaknaan akan sangat tergantung pada pengalaman budaya dari receiver, yang dalam paradigma semiotik disebut sebagai ‘pembaca’ (reader). Tradisi semiotika tidak pernah menganggap terdapatnya kegagalan pemaknaan, karena setiap ‘pembaca’ mempunyai pengalaman budaya yang relatif berbeda, sehingga pemaknaan diserahkan kepada pembaca.
Dengan demikian istilah kegagalan komunikasi (communication failure) tidak pernah berlaku dalam tradisi ini, karena setiap orang berhak memaknai teks dengan cara yang berbeda. Maka makna menjadi sebuah pengertian yang cair, tergantung pada frame budaya pembacanya. Dalam kontek Kompas, sistem ini diterapkan sedikit demi sedikit, dimana indikatornya adalah menguatnya kecendrungan bahasa vulgar, yang memang menjadi representasi dari iklim demokrasi yaitu berupa kebebeasan menyatakan pendapat, baik dengan lisan maupun dengan tulisan. Kondisi masyarakat yang diandaikan semakin terbuka dan kritis oleh media massa kemudian diterapkan dalam sistem produksi jurnalisme yang juga semakin vulgar. Ibarat cermin yang memantulkan bayangan dari suatu subyek, maka media menampilkan bayangan dari masyarakt untuk kemudian mengembalikan lagi bayangan tersebut kepada masyarakat. Di sini terjadi hubungan dialektis antara masyarakat dan media, yang tidak sesederhana yang dapat dicermati. Media memproduksi berita, di satu sisi, masyarakat perlu mendapat informasi. Relasi ini kemudian menimbulkan hubungan timbal balik yang bercorak semantik, yaitu menekankan otonomi dalam teks (berita, visual, lay out,dll) ketimbang source atau sender.
Kesimpulan
Dalam tradisi berbahasa Kompas sebelum era reformasi datang, bisa dilihat bagaimana kecendrungan kompas untuk menjauh dari apa yang disebut Roland Barthes sebagai “Gincu Bahasa” atau “Kosmetik Bahasa”. Yaitu sebuah penggunaan bahasa yang bertujuan memperindah retorika, akan tetepi efeknya bisa mengaburkan fakta. Polisemi dalam kata, oleh karenaya, ditekan sampai batas minimal, demi sebuah maksimalitas pengungkapan fakta dari reportase yang dihasilkan.
Keunggulan pilihan style ini terletak pada kejernihannya dalam menyajikan berita karena resiko distorsi fakta betul-betul terjaga. Selain itu, pembaca juga tidak terganggu dengan kemungkinan multi-tafsir dari sekian berita yang dihasilkan. Namun gaya kompas juga memiliki kelemahan, terutama dari aspek estetika dan retorika. Dalam industri media yang tergolong ketat, pilihan Kompas mengundang banyak resiko, terutama ketika media-media lainnya mulai meninggalkan gaya lama dengan beralih mengikuti kecendrungan metafor-metafor yang mengeksplorasi estetika untuk mengimbangi dinamika perkembangan kebudayaan.
Untuk itulah dalam perkembangan mutakhirnya Kompas meninggalkan karakteristik lamanya dan mulai beralih kepada kecendrungan umum dalam bahasa media. Ditopang dengan kebebesan pers yang didapat seiring tumbangnya Orba, perubahan ini tampak sangat besar dalam beberapa pemberitaan, sebagaimana yang disebutkan di atas. Memang jika tetap ingin eksis sebagai media yang memiliki pengaruh besar, Kompas perlu meneyesuaikan karakteristiknya seiring dengan tuntutan zaman. Hal ini tidak dapat ditolak dalam konteks sosial-budaya dan sosial-politik yang terus bergerak secara dinamis.


Rabu, 09 Juli 2008

DPR VS KPK, Turnamen Politik yang Tidak Menghibur

Setelah hampir satu bulan kita disuguhi turnamen sepak bola paling prestesius dalam ajang Piala Eropa (Euro 2008), di Indonesia, kita disuguhi turnamen pertaruhan reputasi tingkat tinggi dua lembaga negara terhormat antara KPK VS DPR. Turnamen politik yang sebenarnya telah berlangsung lama ini kembali memanas setelah salah satu anggota dewan yang terhormat lagi-lagi diciduk oleh pasukan KPK karena diduga menerima suap terkait pengadaan kapal patroli di Dephub. Jika dalam arena Euro kita mendapat suguhan yang menarik pada pertandingan final Spanyol melawan Jerman dalam perebutan supremasi sepak bola tertinggi di benua biru tersebut, di Jakarta, kita mendapati tontonan yang justru memuakkan dan tidak mengibur.

Bulyan Royan, anggota DPR dari Fraksi Partai Bintang Reformasi (PBR), menjadi aktor utama even ini. Anggota komisi V tersebut tertangkap tangan oleh KPK sedang menerima suap sebesar 66.000 dollar AS dan 5.500 euro (sekitar Rp. 700 juta) di sebuah money changer di kawasan Plaza Senayan, Jakarta, Senin (30/6) lalu. Peristiwa ini membuka mata masyarakat tentang prilaku politisi yang kerap kontras dengan atribut kehormatan yang disandang lembaganya.

Imagologi dan Dilem Birokrasi

Dalam kasus pengadaan kapal patroli Dephub yang menjadi skandal di komisi V DPR RI saat ini, kita memang tidak seharusnya memaknai sebagai pertarungan penuh sintimen antara kedua lembaga itu, namun di satu sisi lebih tepat dimaknai sebagai kemajuan KPK dalam mengungkap skandal korupsi yang menggurita di lingkungan birokrasi. Namun ironisnya, setiap langkah maju KPK harus dibayar mahal dengan citra buruk yang didapat DPR. Satu sisi kita bangga ada lembaga negara yang begitu progresif menjalankan tanggungjawabnya, di sisi lain kita menanggung rasa malu, kecewa dan marah akibat semakin banyaknya birokrasi yang terungkap boroknya. Inilah dilema birokrasi yang harus ditanggung Indonesia.

Dilema ini muncul akibat seluruh jajaran institusi pemerintahan tidak mengindahkan kode etik yang seharusnya bekerja demi kepentingan masyarakat. Yang dilakukan birokrasi selama ini, kalau kita baca lebih jauh, bukan berlomba-lomba menunjukkan komitmen kerakyatan yang berorioentasi kepada pelayanan publik baik, akan tetapi justru berlomba-lomba bagaimana menyembunyikan intrik politik kotor agar tidak terekspose publik. Bukan bagaimana menunjukkan dirinya sebagai lembaga yang kredibel dan akuntabel, namun bagaimana menutupi agar setiap institusi di birokrasi pemerintahan seolah-olah bekerja sesuai undang-undang, padahal kenyataannya sibuk melakukan rekayasa sistemik agar setiap kebijakan tidak tampak boroknya.

Inilah yang disinyalir Jurgen Habermas sebagai imagologi, semacam kecendrungan image building untuk mendongkrak kesan dan pencitraan ketimbang substansi dari hal yang dilakukan. Imagologi dalam konteks politik justru lebih parah lagi, karena bukan pencitraan saja yang dipertaruhkan, namun lebih dari itu kebohongan terhadap rakyat justru dibungkus dengan sikap yang mengesankan seolah kepedulian. Itulah yang dilakukan lembaga terhormat itu di Senayan. Secara nilai-institusional, lembaga itu tepatlah terhormat karena dimaksudkan sebagai “lidah rakyat“ yang menyampaikan aspirsinya kepada pemerintah, akan tetapi, prilaku anggotanya sama sekali tidak pantas untuk disebut terhormat.

Political Distrust

Menyikapi peristiwa ini ketua Badan Kehormatan (BK) DPR, Gayus Lumbuan, tidak punya pilihan lain kecuali mendukung langkah KPK untuk terus mengusut dugaan korupsi tersebut sampai tuntas. Ada dua asumsi yang bisa diajukan dalam hal ini. Pertama, Dewan BK DPR memang ingin bersikap kooperatif terhadap KPK dalam mendukung terciptanya supremasi hukum. Kedua, bisa dikatakan sebagai sikap cuci tangan DPR secara kelembagaan yang menegaskan bahwa lembaga bagaimanapun harus dijaga kehormatan dan reputasinya di mata rakyat.

Tapi persoalannya tidak sesederhana itu. Bukan soal mendukung langkah KPK atau tidak, yang harus dilakukan BK adalah bagaimana mensterilkan lembaga perwakilan rakyat itu dari para anggota dewan yang inmoral. Karena kalau tidak, akibatnya bukan dewan saja yang terkena imbasnya, akan tetapi pemimpin rakyat secara umum akan melihat terjadinya political distrust yang parah di kalangan masyarakat.

Indikasi ini telah nampak pada ketidakpuasan masyarakat terhadap para pemimpin mereka yang berlaga dalam arena pemilihan pilkada/pilgub. Kita bisa melihat frekuensi golput di beberapa daerah yang melakukan pemilihan gubernur, grafik massa golput bahkan lebih banyak dari suara mayoritas yang diraih cagub/cawagub. Hal ini menunjukkan adanya krisis yang mengkhawatirkan dalam konteks relasi rakyat dan pemimpinnya. Political distrust patut diwasapadai karena menjelang momentum pemilu 2009 masyarakat begitu diharapkan apresiasi serta partisipasi aktifnya mensukseskan pesta demokrasi tersebut. Dengan bertambahnya jumlah masyarakat yang golput, apa jadinya demokrasi di Indonesia. Demokrasi akan tercederai substansinya jika jumlah pemilih kalah dibanding jumlah yang golput. Dan itu disebabkan oleh political distrust yang menggejala akibat ketidakpuasan rakyat kepada pemimpin-pemimpin mereka, bukan kesalahan teknis seperti yang sering di tuduhkan selama ini.

Agenda mendesaknya jelas. Semua elemen kelembagaan harus melakukan seleksi ketat terhadap orang-orang di lingkungan birokrasi. Apa lagi di DPR, pola rekruetmen partai hendaknya lebih ketat agar okmun politisi busuk yang akan merusak reputasi dewan bisa terjaring. Setiap partai harus diperingatkan agar tidak mengirimkan delegasi-delegasi opurtunis yang melulu mengincar kepentingan pribadi dan golongan, namun delegasi yang betul-betul mengharumkan citra dewan. Ini penting karena menyangkut kepentingan bangsa dalam jangka panjang dan skala yang luas. Potret KPK VS DPR jangan sampai terjadi berulang-ulang. Meski fakta penangkapan anggota DPR oleh KPK itu bukan tontonan, akan tetapi kesan bahwa DPR sedang melakonkan turnamen di pentas politik akan menjadi tontonan seluruh elemen masyarakat yang tentu saja tidak memberi hiburan apa-apa kecuali perasaan sakit dan kecewa.




Selasa, 01 Juli 2008

Rengkong, Kesenian Khas Negeri Agraris

Fakta bahwa Indonesia merupakan negeri agraris tidak hanya bisa dilihat dari pentingnya sektor pertanian sebagai penopang perekonomi penduduknya, namun lebih jauh bisa dilihat pada bentuk serta corak kesenian yang dilestarikan masyarakatnya. Jika selama ini Indonesia lekat dengan stigmasi negeri agraris karena potensi di sektor pertanian, maka patut dilirik simbolisai dan ekspresi keseniannya yang ternyata turut pula mempertegas identitas Indonesia sebagai salah satu negeri dengan kultur agraria yang kental.
Seni Rengkong, sebagai salah satu kesenian yang dipertunjukkan (performance art), betul-betul mewakili kontek pemaknaan di atas karena lahir sebagai simbol sosial ekonomi masyarakatnya yang hidup dengan tradisi bercocok-tanam. Rengkong lahir dari proses dialektika yang sehat antara aktivitas ekonomi suatu masyarakat dan kreasi budaya yang dihasilkan, dengan asumsi bahwa setiap kreasi kesenian yang timbul tidak bisa lepas dari kontek sosiologis-historis yang melingkupinya. Dengan demikian, simbol serta niai yang muncul dalam kesenian Rengkong tidak berangkat dari ruang kosong, namun sekaligus mewakili identitas kultural dimana kesenian itu lahir.
Rengkong sendiri merupakan kesenian tradisional khas suku Sunda yang paling dekat dengan tradisi agraria. Sebelum murni menjadi bentuk kesenian, rengkong adalah semacam ritual petani ketika musim panen tiba. Kesenian Rengkong dilestarikan dengan beberapa fungsi. Pertama, sebagai ucapan syukur kepada Tuhan karena telah memberikan hasil panen yang melimpah, yang sangat besar artinya bagi kesejahteraan hidup masyarakat. Kedua, semacam seremonial petani untuk melepas penat karena baru saja bebas dari kesibukan dan aktivitas merawat padi di sawah selama musim tanam padi. Ketiga, sebagai proses memasukkan padi ke dalam lumbung tempat penyimpanan dimana padi akan diolah nantinya.
Istilah rengkong diambil dari nama sebuah alat untuk memikul padi dari sawah. Alat ini terbuat dari pikulan bambu jenis gombong. Pikulan bambu tersebut berukuran besar dan kuat tetapi ringan karena dibuat dari bambu yang sudah tua, biasanya menggunakan bambu tali dengan panjang sekitar 2,6 meter. Pada kedua ujung bambu dibuat lobang persegi panjang selebar 1 cm, sekeliling bambu melintasi lobang tersebut diraut sekedar tempat bertengger tali penggantung ikatan padi. Dua ikat padi seberat kurang-lebih 15 kg digayutkan dengan tali ijuk mengalungi sonari, yakni badan rengkong bambu di tempat yang diraut.
Daya terik rengkong terdapat pada bunyi-bunyian khas bagai suara kodok mengorek secara serempak yang dihasilkan dari permainan pikulan bambu. Di tengah masing-masing ikatan padi ada sunduk (tusuk) bambu sepanjang hampir 2 meter. Ujung atas sunduk bambu dimasukkan ke badan bambu rengkong dekat gantungan tali ijuk.
Cara memainkannya, pikulan bambu rengkong yang berisi muatan padi tadi diletakkan pada bahu kanan (dipikul). Pemikul mengayun-ayunkan ke kiri dan ke kanan dengan mantap dan teratur. Tali ijuk dengan beban padi yang menggantung pada badan bambu rengkong pun bergerak-gerak, gesekan tali ijuk yang keras inilah yang menimbulkan suara berderit-derit nyaring, yang terdengar seperti suara kodok. Kalau ada beberapa rengkong yang dimainkan serempak, maka akan timbul suara yang mengasyikan, khas alam petani, terlebih bila dimainkan dengan berbaris dan berarak-arakan, maka suasananya menjadi lebih semarak. Dalam pertunjukan rengkong, para tamu disediakan berbagai jenis makanan gratis, alunan musik dari lumpang atau alat menumbuk padi yang mengiringi tarian petani sembari membawa hasil panen yang melimpah dengan penuh keceriaan.
Secara histortis rengkong telah lama dikenal masyarakat Sunda, muncul sekitar tahun 1964 di daerah Kabupaten Cianjur dan tokoh yang pertama kali memunculkan dan mempopulerkannya adalah H. Sopjan, yang namanya tetap dikenang sampai sekarang. Namun pasca H. Sopjan ini kemudian rengkong menjadi go public, sehingga tidak perlu menunggu datangnya musim panen untuk mementaskannya. Hari-hari besar nasional tak jarang dijadikan momentum pementasan seni rengkong, tentu dengan sedikit bergeser dari tujuan semula kesenian ini dilakukan.
Karena dimaksudkan untuk wahana hiburan, maka diperlukan perlengakapan yang lebih formal dan resmi ketimbang rengkong yang semata-mata untuk ritual musiman. Perlengkapan seni rengkong yang digunakan untuk suatu pertunjukan terdiri dari bamboo gombong, umbul-umbul, tali injuk dan satu himpunan tangkai padi seberat 10 kg. Pemainnya menggunakan busana yang terdiri dari: baju kampret, celana pangsi, ikat kepala dan tidak menggunakan alas kaki. Jumlah pemainnya 5 sampai 6 orang, dan pertunjukannya selalu di alam terbuka dengan lama waktu sekitar satu jam.
Estetitasi Fenomena Sosial
Istilah estetitasi dimaksudkan untuk menjelaskan fenomena kehidupan sosial masyarakat yang menjadi embrio dari lahirnya ekspresi kesenian yang khas. Untuk kontek kesenian renkong, kehidupan sosial masyarakat Sunda beserta seluruh dinamikanya menjadi landasan terhadap lahirnya seni pertunjukan rengkong itu sendiri. Sunda sebagai salah satu etnis yang memiliki kebudayaan, tradisi, kearifan serta ideologi sendiri yang otonom, dan di lain pihak kondisi geografis alamnya yang mendukung terhadap kultur pertanian, membekas dalam simbolisasi rengkong.
Emile Durkheim (dalam Pals, 2001: 152) menyatakan bahwa karya seni hadir dalam sebuah proses perenungan atau kontemplasi yang didasarkan atas visi sosial dan kebudayaannya. Maksudnya, struktur, pranata, norma, serta kondisi sosial yang ada itulah yang sebenarnya membentuk karya seni beserta filosofi dan pemaknaannya. Proses itulah yang dimaksud dengan estetitasi fenomena sosial. Yakni upaya untuk menemukan dan menghadirkan pengalaman estetik (estetik experience) melalui sebuah penciptaan dengan mengambil referensi dari kontek fenomena sosial. Upaya mengahdirkan pengalaman estetik itu, dalam teori kebudayaan dikenal dengan visi estetik, yang dalam hirarkinya muncul sebagai respon dari adanya visi sosial. Dalam hal ini, visi sosial masyarakat Sunda yang mengupayakan peningkatan taraf hidup melalui instrumen pertanian tampak integral dengan lahirnya kesenian rengkong yang terbentuk sebagai representasi visi estetik masyarakatnya.
Rengkong yang dimainkan dengan menggunakan alat-alat pertanian seperti pikulan, ikatan padi, serta alat lainnya, tidak bisa mengelak sebagai sebuah representasi fenomena sosial, namun di lain pihak menjadi bukti bahwa tidak satupun karya seni yang tercipta, entah itu visual art maupun performance art, yang otonom dalam dirinya sendiri sebagai sebuah karya murni imajinasi. Rengkong merupakan wahana transmisi budaya dimana eksistensinya dimaksudkan mempertegas identitas budaya lewat simbol-simbol yang di gunakannya, yaitu kesenian khas negeri agraris, yang tentu saja tidak ditemukan di negeri-negeri industri non-agraris.
Di samping sebagai instrumen budaya yang menegaskan identitas kultur agraris yang melekat pada masyarakat Sunda, rengkong juga menyimpan eksotisme lain yang penting untuk dielaborasi. Sebagaimana telah disinggung, rengkong hadir untuk beberapa tujuan. Yakni sebagai ucapan rasa syukur yang berdimensi religius, seremonial para petani yang lebih kepada unsur hiburan dalam rangka meraih pengalaman estetik, serta sebagai proses penyimpanan hasil panen yang melambangkan kesadaran teknologis suku Sunda dalam tahapan kinerja pertanian. Sekian perspektif pemaknaan ini tidak boleh tertinggal ketika kita mencoba melihat kedalaman makna yang terkandung dalam setiap karya seni, termasuk rengkong.
Namun yang patut disesalkan, di era globalisasi dan digitalisasi seperti sekarang, kesenian rengkong hampir tidak berkembang, dan bahkan menunjukkan tanda-tanda akan punah. Hal ini disebabkan antara lain oleh majunya teknologi yang praktis menggeser pola petani dalam mengelola hasil panennya, disamping bahwa rengkong sendiri sudah tidak lagi diminati anak muda sehingga terhambat dari segi regenerasi. Masyarakat Sunda, sebagai pemilik sah kesenian ini, hendaknya melakukan gerakan untuk mencegah punahnya rengkong dengan cara menggerakkan kesadaran bersama bahwa rengkong integral dengan tradisi agraris masyarakat setempat.