Selasa, 01 Juli 2008

Rengkong, Kesenian Khas Negeri Agraris

Fakta bahwa Indonesia merupakan negeri agraris tidak hanya bisa dilihat dari pentingnya sektor pertanian sebagai penopang perekonomi penduduknya, namun lebih jauh bisa dilihat pada bentuk serta corak kesenian yang dilestarikan masyarakatnya. Jika selama ini Indonesia lekat dengan stigmasi negeri agraris karena potensi di sektor pertanian, maka patut dilirik simbolisai dan ekspresi keseniannya yang ternyata turut pula mempertegas identitas Indonesia sebagai salah satu negeri dengan kultur agraria yang kental.
Seni Rengkong, sebagai salah satu kesenian yang dipertunjukkan (performance art), betul-betul mewakili kontek pemaknaan di atas karena lahir sebagai simbol sosial ekonomi masyarakatnya yang hidup dengan tradisi bercocok-tanam. Rengkong lahir dari proses dialektika yang sehat antara aktivitas ekonomi suatu masyarakat dan kreasi budaya yang dihasilkan, dengan asumsi bahwa setiap kreasi kesenian yang timbul tidak bisa lepas dari kontek sosiologis-historis yang melingkupinya. Dengan demikian, simbol serta niai yang muncul dalam kesenian Rengkong tidak berangkat dari ruang kosong, namun sekaligus mewakili identitas kultural dimana kesenian itu lahir.
Rengkong sendiri merupakan kesenian tradisional khas suku Sunda yang paling dekat dengan tradisi agraria. Sebelum murni menjadi bentuk kesenian, rengkong adalah semacam ritual petani ketika musim panen tiba. Kesenian Rengkong dilestarikan dengan beberapa fungsi. Pertama, sebagai ucapan syukur kepada Tuhan karena telah memberikan hasil panen yang melimpah, yang sangat besar artinya bagi kesejahteraan hidup masyarakat. Kedua, semacam seremonial petani untuk melepas penat karena baru saja bebas dari kesibukan dan aktivitas merawat padi di sawah selama musim tanam padi. Ketiga, sebagai proses memasukkan padi ke dalam lumbung tempat penyimpanan dimana padi akan diolah nantinya.
Istilah rengkong diambil dari nama sebuah alat untuk memikul padi dari sawah. Alat ini terbuat dari pikulan bambu jenis gombong. Pikulan bambu tersebut berukuran besar dan kuat tetapi ringan karena dibuat dari bambu yang sudah tua, biasanya menggunakan bambu tali dengan panjang sekitar 2,6 meter. Pada kedua ujung bambu dibuat lobang persegi panjang selebar 1 cm, sekeliling bambu melintasi lobang tersebut diraut sekedar tempat bertengger tali penggantung ikatan padi. Dua ikat padi seberat kurang-lebih 15 kg digayutkan dengan tali ijuk mengalungi sonari, yakni badan rengkong bambu di tempat yang diraut.
Daya terik rengkong terdapat pada bunyi-bunyian khas bagai suara kodok mengorek secara serempak yang dihasilkan dari permainan pikulan bambu. Di tengah masing-masing ikatan padi ada sunduk (tusuk) bambu sepanjang hampir 2 meter. Ujung atas sunduk bambu dimasukkan ke badan bambu rengkong dekat gantungan tali ijuk.
Cara memainkannya, pikulan bambu rengkong yang berisi muatan padi tadi diletakkan pada bahu kanan (dipikul). Pemikul mengayun-ayunkan ke kiri dan ke kanan dengan mantap dan teratur. Tali ijuk dengan beban padi yang menggantung pada badan bambu rengkong pun bergerak-gerak, gesekan tali ijuk yang keras inilah yang menimbulkan suara berderit-derit nyaring, yang terdengar seperti suara kodok. Kalau ada beberapa rengkong yang dimainkan serempak, maka akan timbul suara yang mengasyikan, khas alam petani, terlebih bila dimainkan dengan berbaris dan berarak-arakan, maka suasananya menjadi lebih semarak. Dalam pertunjukan rengkong, para tamu disediakan berbagai jenis makanan gratis, alunan musik dari lumpang atau alat menumbuk padi yang mengiringi tarian petani sembari membawa hasil panen yang melimpah dengan penuh keceriaan.
Secara histortis rengkong telah lama dikenal masyarakat Sunda, muncul sekitar tahun 1964 di daerah Kabupaten Cianjur dan tokoh yang pertama kali memunculkan dan mempopulerkannya adalah H. Sopjan, yang namanya tetap dikenang sampai sekarang. Namun pasca H. Sopjan ini kemudian rengkong menjadi go public, sehingga tidak perlu menunggu datangnya musim panen untuk mementaskannya. Hari-hari besar nasional tak jarang dijadikan momentum pementasan seni rengkong, tentu dengan sedikit bergeser dari tujuan semula kesenian ini dilakukan.
Karena dimaksudkan untuk wahana hiburan, maka diperlukan perlengakapan yang lebih formal dan resmi ketimbang rengkong yang semata-mata untuk ritual musiman. Perlengkapan seni rengkong yang digunakan untuk suatu pertunjukan terdiri dari bamboo gombong, umbul-umbul, tali injuk dan satu himpunan tangkai padi seberat 10 kg. Pemainnya menggunakan busana yang terdiri dari: baju kampret, celana pangsi, ikat kepala dan tidak menggunakan alas kaki. Jumlah pemainnya 5 sampai 6 orang, dan pertunjukannya selalu di alam terbuka dengan lama waktu sekitar satu jam.
Estetitasi Fenomena Sosial
Istilah estetitasi dimaksudkan untuk menjelaskan fenomena kehidupan sosial masyarakat yang menjadi embrio dari lahirnya ekspresi kesenian yang khas. Untuk kontek kesenian renkong, kehidupan sosial masyarakat Sunda beserta seluruh dinamikanya menjadi landasan terhadap lahirnya seni pertunjukan rengkong itu sendiri. Sunda sebagai salah satu etnis yang memiliki kebudayaan, tradisi, kearifan serta ideologi sendiri yang otonom, dan di lain pihak kondisi geografis alamnya yang mendukung terhadap kultur pertanian, membekas dalam simbolisasi rengkong.
Emile Durkheim (dalam Pals, 2001: 152) menyatakan bahwa karya seni hadir dalam sebuah proses perenungan atau kontemplasi yang didasarkan atas visi sosial dan kebudayaannya. Maksudnya, struktur, pranata, norma, serta kondisi sosial yang ada itulah yang sebenarnya membentuk karya seni beserta filosofi dan pemaknaannya. Proses itulah yang dimaksud dengan estetitasi fenomena sosial. Yakni upaya untuk menemukan dan menghadirkan pengalaman estetik (estetik experience) melalui sebuah penciptaan dengan mengambil referensi dari kontek fenomena sosial. Upaya mengahdirkan pengalaman estetik itu, dalam teori kebudayaan dikenal dengan visi estetik, yang dalam hirarkinya muncul sebagai respon dari adanya visi sosial. Dalam hal ini, visi sosial masyarakat Sunda yang mengupayakan peningkatan taraf hidup melalui instrumen pertanian tampak integral dengan lahirnya kesenian rengkong yang terbentuk sebagai representasi visi estetik masyarakatnya.
Rengkong yang dimainkan dengan menggunakan alat-alat pertanian seperti pikulan, ikatan padi, serta alat lainnya, tidak bisa mengelak sebagai sebuah representasi fenomena sosial, namun di lain pihak menjadi bukti bahwa tidak satupun karya seni yang tercipta, entah itu visual art maupun performance art, yang otonom dalam dirinya sendiri sebagai sebuah karya murni imajinasi. Rengkong merupakan wahana transmisi budaya dimana eksistensinya dimaksudkan mempertegas identitas budaya lewat simbol-simbol yang di gunakannya, yaitu kesenian khas negeri agraris, yang tentu saja tidak ditemukan di negeri-negeri industri non-agraris.
Di samping sebagai instrumen budaya yang menegaskan identitas kultur agraris yang melekat pada masyarakat Sunda, rengkong juga menyimpan eksotisme lain yang penting untuk dielaborasi. Sebagaimana telah disinggung, rengkong hadir untuk beberapa tujuan. Yakni sebagai ucapan rasa syukur yang berdimensi religius, seremonial para petani yang lebih kepada unsur hiburan dalam rangka meraih pengalaman estetik, serta sebagai proses penyimpanan hasil panen yang melambangkan kesadaran teknologis suku Sunda dalam tahapan kinerja pertanian. Sekian perspektif pemaknaan ini tidak boleh tertinggal ketika kita mencoba melihat kedalaman makna yang terkandung dalam setiap karya seni, termasuk rengkong.
Namun yang patut disesalkan, di era globalisasi dan digitalisasi seperti sekarang, kesenian rengkong hampir tidak berkembang, dan bahkan menunjukkan tanda-tanda akan punah. Hal ini disebabkan antara lain oleh majunya teknologi yang praktis menggeser pola petani dalam mengelola hasil panennya, disamping bahwa rengkong sendiri sudah tidak lagi diminati anak muda sehingga terhambat dari segi regenerasi. Masyarakat Sunda, sebagai pemilik sah kesenian ini, hendaknya melakukan gerakan untuk mencegah punahnya rengkong dengan cara menggerakkan kesadaran bersama bahwa rengkong integral dengan tradisi agraris masyarakat setempat.