Senin, 09 Juni 2008

KRITIK TERHADAP METAFISIKA ARISTOTELES

Secara periodik, Aristoteles dikenal sebagai tokoh Yunani paling awal dalam penyusunan pemikiran metafisika secara sistematis. Dari pada Plato yang populer dengan teori Ide, Metafisika Aristoteles memiliki kajian lebih luas meliputi Universalitas, Esensi dan Forma, serta yang tak ketinggalan pemikirannya tentang Ketuhanan (Teologi) dengan mengintrodusir terminologi Kausa Prima. Meski dalam sejarah Aristoteles bukanlah tokoh pertama yang meletakkan patok pemikiran metafisik, karena gelar Bapak Metafisika telah tersemat di pundak Parmanides, seorang filsuf Mazhab Elea, namun kontribusinya dalam wacana filsafat metafisika tidak bisa dianggap kecil. Bahkan mungkin dialah tokoh yang paling besar kontribusinya terhadap evolusi perkembangan metafisika di Yunani Kuno.
Dalam perkembangan lebih lanjut, pemikirannya banyak dipuji dan mendapat banyak sekali apresiasi. Kita bisa melihat gagasannya tentang geosentrisme, suatu gagasan tentang bumi sebagai titik pusat tata surya. Pandangan ini bertahan sekian lama dan mendapat dukungan pula dari otoritas gereja di kemudian hari. Dibutuhkan sekitar puluhan abad untuk meruntuhkan konsepsi ini ketika Nikolas Kopernikus memperkenalkan teori Heliosentrime.
Makalah ini tidak akan membahas lebih lanjut ide geosentrisme Aristoteles yang secara abslolut tertolak oleh penemuan ilmu pengetahuan modern, akan tetapi berusaha membaca pemikiran metafisikanya yang hingga kini masih menjadi bahan diskusi menarik di kalangan intelektual. Berikut ini akan dibahas secara sistematis ide-ide metafisika Aristoteles yang tertuang dalam beberapa konsepsi tentang persoalan mendasar dalam cabang filsafat metafisika seperti Partikularitas dan Universalitas, serta Forma dan Materi. Kemudian akan diungkap bagaimana Aristoteles cenderung bersikap reduktif dalam argumennya, sehingga terdapat cacat dalam sistem filsafat menyangkut dua konsepsi filosofisnya tersebut.

Partikularitas dan Universalitas
Kedua terminologi di atas mengacu dan bertalian erat dengan teori Aristeoteles yang lain, yakni Forma dan Materi. Namun demi sistematisasi penulisan, kedua tema terakhir itu akan dibahas di bagian tersendiri. Partikularitas dimaksudkan untuk menyebut segala anasir yang terdapat dalam suatu realitas yang khas, yang menyusun identitas realitas itu sendiri. Partikularitas berkaitan dengan substansi. Sementara istilah Universalitas dimaksudkan untuk mengkomodikasi persamaan dan pertalian antara satu realitas dengan realitas lainnya, baik dalam aspek spesies, genus, atau dimensi bentuk dan atribut lainnya. Akan tetapi dalam pemikiran metafisik Aristoteles, universalitas tidak menjadi bagian dari forma, karena forma meski terdapat dalam segala realitas yang teraktualisasikan, bukan berarti eksistensinya menjadi milik universal dan bersifat umum. Artinya, bersama substansi, forma merupakan bagian dari partikularitas dengan perbedaan yang terdapat di antara keduanya.
Hingga taraf tertentu, teori tentang partikularitas dan universalitas sangat sederhana. Dalam bahasa ada nama-nama atau atribut yang menjadi tanda dari eksistensinya. Nama-nama ini mengacu kepada "benda-benda" atau "orang-orang" yang masing-masing adalah benda atau orang yang diacu oleh tanda tersebut. Matahari, bulan, Prancis, Indonesia, Soekarno adalah partikularitas karena tak ada sekumpulan benda-benda yang diacu oleh nama-nama itu. Di lain pihak, nama seperti kucing, anjing, negara, manusia, mengacu pada benda-benda yang berbeda-beda, dan oleh karenya universal.
Jadi, universalitas berkaitan dengan makna kata-kata itu, serta berkaitan dengan kata-kata sifat seperti putih, keras, bundar, dan sebagainya. Aristoteles mengatakan, "Dengan istilah universalitas saya maksudkan suatu ciri yang dapat dipredikatkan pada banyak subyek, sedangkan partikularitas adalah sesuatu yang tidak bisa dipredikatkan." Yang partikular berkaitan dengan Nama Diri, yaitu suatu entitas yang personal. Sementara universalitas berkaitan dengan suatu keumuman atau kelompok.
Dari segi rujukan (reference), nama diri mengacu kepada "substansi", sementara yang dirujuk oleh kata sifat yang universal adalah nama kelompok. Bertrand Russell mengambil contoh permainan sepak bola untuk menjelaskan teori universalitas dan partikularitas ini. Permainan sepak bola adalah suatu universalitas karena merujuk kepada suatu aspek global atau aspek yang mendunia karena tidak terikat kepada kontek ruang dan waktu dimana permainan itu dilansungkan. Sementara mengatakan bahwa permainan sepak bola tanpa eksisnya pemain yang memainkan olah raga itu, maka hal itu tidak bisa diterima akal. Pemain sepak bola merupakan partikularitas sejauh dia terikat kepada person, manusia, dalam kontek kapan dan dimana manusia itu bermain. Dan itu merupakan hal yang partikular. Ronaldo, Zidane, Beckham dan lain-lain merupakan partikularitas.
Zidane akan tetap Zidane meski selama hidupnya dia tidak pernah menjadi pemain sepak bola. Zidane tidak akan berhenti menjadi dirinya hanya karena dia kebetulan tidak pernah senang olah raga apapun. Begitu pun sebaliknya, sepak bola akan tetap eksis meski Zidane atau Ronaldo tidak pernah lahir ke dunia. Dengan cara ini, Aristoteles membuktikan ketiadaaan hubungan timbal balik antara universalitas dan partikularitas.
Namun penting dicatat, tidak berarti universalitas bisa hadir tanpa subyek yang partikular, begitupun partikularitas tidak mungkin muncul tanpa universalitas. Dengan kata lain, sepak bola bisa tetap eksis meski tanpa Zidane, akan tetapi tidak mungkin eksis tanpa ada orang yang memainkannya sama sekali. Sama halnya dengan kita mengatakan bahwa biru masih bisa eksis meski tidak ada langit atau lautan yang merepresentasikan kualitas warna tersebut, karena warna biru bisa melekat pada benda lain. Namun tidak mungkin warna tersebut eksis tanpa suatu subyek yang menampung keberadaannya. Suatu subyek itulah partikularitas, dan warna biru adalah universalitas. Kualitas warna biru, dengan demikian, merupakan universalitas yang melekat pada partilukularitas, seperti langit, lautan, atau pada suatu baju.
Contoh lain, "Moh. Sanusi adalah mahasiswa Ushuluddin yang Bodoh, Sementara Fulan adalah mahasiswa Ushuluddin yang Pandai." Dengan cara pandang Aristoles, "Moh. Sanusi" dan "Fulan" adalah partikular, dan karenanya merupakan substansi, sementara "Bodoh" dan "Pandai" merupakan universalitas, dan karenanya bukan merupakan substansi, sebab sewaktu-waktu bisa hilang dari kedua orang tersebut, ketika Fulan belajar dengan giat sementara Moh. Sanusi tidak lagi mau belajar.
Dalam analisis lebih jauh, setiap benda, selain mempunya dimensi sifat-sifat universal yang melekat pada suatu subyek, dalam dirinya subyek itu juga mempunyai bahan dasar (substratum) dimana kepadanya aspek universal tadi melekat. Inilah yang diklaimnya sebagai substansi. Suatu bahan dasar yang tidak lenyap meski sifat-sifat unirvesal tadi telah lenyap. Contoh tambahan, misalnya Aristoteles menjadi uban atau botak di hari tuanya, tidak seperti ketika di masa muda dia memiliki rambut hitam yang lebat. Dalam teori ini, dia akan tetap sebagai Aristoteles. Akan tetapi beda apabila Aristoteles berubah menjadi seekor Kodok, dimana hal ini tentu saja berbeda dengan ketika Aristoteles masih sebagai manusia atau filosof, maka dia tidak lagi bisa dikatan Aristoteles, sebab bahan dasar yang partikular tadi telah berubah atau lenyap.
Pemikiran ini menyisakan celah dan kelemahan, sebab partikularitas yang diasumsikan Aristoteles sebagai substansi, justru kabur dan tidak bisa teridentifikasi secara obyektif. Mengatakan bahwa subyek yang menanggung atribut universalitas bisa saja melepaskan universalitasnya itu tanpa kehilangan dimensi partikularitasnya adalah pemikiran yang cacat, sebab bagaimana kita bisa mendeteksi partikularitas itu kecuali sebuah entitas yang juga dimiliki masing-maisng individu. Entitas personal pada diri Moh. Sanusi misalnya, adalah entitas yang juga dimiliki oleh orang lain. Katakanlah hidung, mata, alis, atau hal yang berkaitan dengan organ tubuh adalah juga dimiliki orang lain. Dalam hal ini kedirian (personality) Moh. Sanusi sama seperti kedirian Fulan, Aristoteles atau orang lain, yang juga sama-sama memiliki mata, hidung, mulut dan organ lainnya. Lalu dengan apa kita bisa mengatakan bahwa Moh. Sanusi dan Fulan merukan dua pribadi yang masing-masingnya diidentifikasi sebagai yang partikular, dan karenanya memiliki substansi berbeda? Benarkah jika kita mengatakan bahwa Moh. Sanusi dan Fulan merupakan universalitas, karena keduanya tidak benar-benar memiliki hal yang partikular yang khas dalam dirinya sendiri?
Dalam hal ini, kesalahan Aristoteles adalah tidak merinci secara detail mana atribut dari subyek yang diasumsikan sebagai partikular. Pengaburan standar ini berbahaya karena berpotensi terjebak kepada category mistake seperti yang disinyalir Gilbert Ryle. Kategori hidung, mata, telinga, dan organ lainnya tidak seharusnya dilihat sebagai yang partikular lagi karena dalam skop manusia, organ-organ tersebut masih bersifat universal. Begitupun jiwa, pengalaman, emosi, ide atau situasi mental yang terdapat dalam masing-masing orang. Setiap orang memiliki hal tersebut, dan dalam hal tertentu, pengalaman mereka masih bisa dikatakan universal, bukan partikular. Pengalaman cinta, misalnya, adalah gejala universal. Lalu sampai sejauh mana Moh. Sanusi dan Fulan memiliki pengalaman cinta yang sama dan bersifat partikular? Inilah yang dilalaikan Aristoteles, bahwa detail atau standar yang obyektif belum dia upayakan dalam pembedaan (distance) yang jelas (distinct).

Forma dan Materi
Persoalan selanjutnya dalam metafisika Aristoteles adalah pembedaan forma (form) dan materi (matter). Materi di sini bukan dalam pengertian materi yang berlawanan dengan jiwa, akan tetapi materi yang berlawanan dengan forma atau bentuk. Sama seperti kasus universalitas dan partikularitas di atas, persoalannya pada mulanya sederhana. Yakni pilihan Aristoteles menarik garis demarkasi atau pembedaan antara forma atau bentuk dengan materi. Seperti yang dicontohkan Bertrand Russell, tentang sebuah arca yang terbuat dari pualam. Dalam hal ini pualam adalah materi, sementara bentuk arca yang diciptakan oleh seorang pemahat merupakan forma. Atau mengambil contoh dari Aristoteles, jika seorang membuat bola perunggu, maka perunggu adalah materi, dan sifat kebolaan atau bundar adalah forma. Dalam kasus lain, kita bisa mengatakan bahwa paku yang bentuk bulat-lonjong adalah paku. Baja yang merupakan bahan dari paku adalah materi, sementara bulat-lonjong yang merupakan dimensi dari paku adalah forma.
Dalam pandangan Aristoteles, berkat forma, materi bisa menjadi suatu tertentu, dan inilah substansi sesuatu. Sesuatu materi harus terbatas, dan batas inilah yang dia sebut formanya. Kita tidak bisa melihat materi tanpa sekaligus melihat formanya. Karena forma adalah aktualitas dari setiap materi yang ditangkap oleh indera. Perubahan dari pualam menuju arca adalah perubahan forma, yang dengan itu berarti merupakan perubahan dari potensialitas menuju aktualitas. Sebab, dalam bagian tertentu, pualam tadi tidak mengalami perubahan seperti keadaannya semula sebagai bongkahan batu.
Sejauh ini, konsep ini memang sangat masuk akal. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, banyak kekeliruan yang patut kita cermati. Seperti apa yang dikatakan Aristoteles bahwa forma merupakan substansi, dan oleh karenanya bukan universal. Dan kerena forma merupakan substansi, maka konsekuensi logisnya forma tidak pernah sama antara yang satu dengan yang lain, karena semua substansi tidak akan pernah bisa dirujuk dalam konteks universalitas. Kelemahannya adalah bahwa bukan mustahil manusia menciptakan forma yang persis sama antara satu benda dengan benda yang lain. Bukan hanya itu, manusia modern, dengan bantuan mesin cetak atau mesin produksi berteknologi tinggi, bisa menciptakan forma yang sama meski dengan materi yang berbeda. Sebagai contoh, dua Patung tokoh terkenal yang terbuat dari lilin dan patung yang terbuat dari perunggu bisa dijadikan contoh. Dari segi materi, lilin dan perunggu jelas berbeda, akan tetapi bukan perkara sulit membuat patung dari kedua bahan berbeda tersebut ke dalam bentuk kembar yang persis sama.
Sampai di sini, pendirian Arisoteles bahwa tidak mungkin ada forma yang persis sama, telah runtuh. Dan pandangan Aristoteles sendiri bahwa forma merupakan substansi yang darinya benda-benda mengaktualkan dirinya otomatis juga kehilangan relevansinya secara signifikan. Jika forma betul-betul substansi, tentu tidak ada kemiripan antara yang satu dengan yang lain karena substansi tidak mungkin diduplikasi. Dengan catatan bahwa kita menganalisa persoalan ini dengan kosisten mengadopsi sistem pemikiran Aristoteles sendiri tentang partikularitas dan universalitas seperti yang diuraikan di atas.
Selanjutnya dikatakan bahwa forma tidak diciptakan, yang dilakukan hanyalah menyatukan materi dan forma, karena menurut Aristoteles forma adalah eksis sebagai faktor mendasar untuk mengaktualisasikan potensi materi. Dalam kasus arca pualam, potensi adalah pualamnya, sementara aktualisasinya merupakan forma atau bentuk arca. Yang dilakukan pemahat hanyalah menggabungkan keduanya, yakni materi dan forma, bukan menciptakan. Berbagai hal meningkat aktualisasinya karena menerima forma; materi tanpa forma hanya berupa potensi, demikian pemikiran Aristoteles.
Hal ini juga rancu karena bagaimana mungkin forma lebih real dari materi hanya karena alasan bahwa forma merupakan substansi yang terpisah dari materi. Dalam hal ini Aristoteles belum sampai kepada alternatif pemikiran bahwa forma sebenarnya merupakan aksiden saja dari adanya materi. Konsekuensi logis bahwa apa bila materi ada, maka forma juga ada sebagai akibat dari eksistensinya. Kedua hal ini tidak bisa saling mendahului, apa lagi dibalik, dengan mengatakan ketika forma tercipta, maka eksistensi materi kemudian teraktualisasi.
Indra kita tidak bisa berinteraksi dengan materi tertentu tanpa berurusan dengan forma sekaligus materinya. Tangan manusia tetap mampu menyentuh suatu materi dengan tangannya, atau membaui dengan hidungnya, meski forma itu sendiri tidak diketahui dengan jelas. Tapi bukan berarti formanya tidaka ada. Begitupun bagi orang buta, forma bagi orang buta tidak bisa dinilai eksis, atau minimal lebih eksis materinya ketimbang formanya, namun jelas hal itu merupakan pandangan yang jauh dari sikap obyektif.

Penutup
Dengan demikian, persoalan forma dan dalam sistem filsafat Aristoteles kemudian tidak bisa mengabaikan unifikasi, yakni saling hubungan, dan bukan distansi. Tidak ada yang lebih real antara materi dan forma, karena semuanya satu tanpa dapat didistorsi ke dalam superioritas satu entitas saja. Dalam hal ini, pernyataan Aristoteles bahwa forma lebih real ketimbang materi telah tertolak. Begitupun tentang pembedaan (distance) antara universalitas dan partikularitas yang menurut penulis juga masih reduktif.
Maka jelaslah, inkonsistensi dalam pemikiran metafisika Aristoteles, khususnya dalam pembahasan tentang tema-tema yang dibahas seperti di atas. Diferensiasi yang dibuat olehnya terbukti mulai tidak proporsional, seperti yang diuraikan dalam pembahasan tentang forma dan materi di atas. Oleh karena itulah, kritik di sini layak dilihat sebagai pembacaan terhadap kemungkinan lain dari seorang pemikir besar Yunani Kuno.
Dalam Kamusku Tinggal Namamu

Angin datang sore-sore
Memberi harum yang asing
Barangkali bunga sedang mekar
Sekuntum bunga yang lain?
Segalanya terjawab dalam detik pertama kau datang
Angin tiba-tiba menepi
Hujan urung berderai
Bunga jadi layu di depan bibirmu
Kau ratakan nuansa di lubuk mata
Lewat bibirmu kutelan rasa kagumku
Kau mengibas udara dengan lembut gerakmu
Tak ada yang berdetak
Walau kata sebenarnya tak berkurang
Dalam kamusku tiba-tiba hanya tinggal namamu

Naja Kosan, 12-Desember 2007




Di Ujung Segala

Langit mengiringku selalu
Merebut satu kesempatan saling bertatap
Kecil harapan terus bicara
Meski waktu terus terhimpit
Dari Timur ku tahu asalmu
Dari mana harus kujawab datangnya rindu?
Oh, pelepah yang hampir rontok ini
Menunggu sentuhan tangan terakhir agar tetap kokoh
Bayangan manusia semakin tua
Angin pun tampak angkuhnya
Kecuali waktu terjepit di belakang Matahari
Aku hampir tak punya lagi tenaga
Untuk mengejarmu
Menahan pelepah dengan sisa kekuatan dan waktu

Naja Kosan, 12-Desember 2007

Kredo Cinta Buku Tanpa Membaca



Antara pedagang dan pembaca buku, siapakah sebenarnya yang lebih mencintai buku? Jika pertanyaan itu diajukan pada kita, mayoritas pasti akan menjawab, pembaca buku lebih etis mendapat predikat sebagai pecinta buku.
Pasalnya, pembaca buku adalah pribadi-pribadi yang rela merogoh kocek, meluangkan waktu, bersedia dalam kesendirian, serta mengerahkan tenaga pikiran sambil berkonsentrasi sekedar untuk mengakrabi semesta buku. Aktivitas bolak-bolik antara membaca dan membeli buku, mengapresiasikan dan menganktualisasikan isi buku, merupakan ekspresi cinta seseorang terhadap buku. Frekuensi membeli dan membaca, dengan demikian, menjadi parameter seberapa besar cinta dan keintiman seseorang akan buku.
Berbeda dengan pembaca buku, rutinitas pedagang buku sama sekali jauh dari kesibukan membaca, memahami, mengapresiasi, dan mengaktulisasikan apa yang mungkin di dapat dalam tiap judul buku di etalase mereka. Seperti umumnya pedagang, nalar pedagang buku adalah nalar profit, dengan strategi memainkan modal menjadi laba. Konsekuensinya, seberapa tinggi tingkat frekuensi pedagang membeli buku, tidak menunjukkan kecintaannya akan buku, karena motif pedagang adalah profit.
Di tangan pembacanya, buku merupakan barang mentah dimana gagasannya harus diolah terlebih dahulu (baca:diaktualkan) untuk diproduksi menjadi bentuk komoditas baru, baik itu komoditas bisnis, intelektual, atau bahkan spiritual. Sementara di tangan pedagang, tiap judul buku adalah komoditas itu sendiri, tak lebih dari barang hasil produksi yang sudah final dan jadi, yang disetting menurut logika pasar untuk menggelembungkan aset. Membeli buku bagi pembaca adalah proyek masa depan, sementara membeli dan menjual buku bagi pedagang adalah proyek hari ini.
Sampai di sini kita masih bertahan dengan mindset lama bahwa pecinta buku adalah mereka khalayak publik dari berbagai usia yang melek aksara, yang menjadikan buku sebagai pengisi kekosongan pemahaman akan realitas. Selama ini kita berada di tengah pusaran frame yang menegaskan bahwa pembaca butuh buku untuk menyatakan identitasnya, sementara buku di sisi lain juga butuh pembaca untuk menuju titik eksistensinya yang tertinggi. Pembaca tanpa buku adalah nonsens, buku tanpa pembaca mungkin cuma "sampah." Hipotesa ini diperkuat oleh Joseph Bordsky sebagaimana dikutip Anton Kurnia (2005). Katanya, "Membakar buku adalah sebuah kejahatan, tapi lebih jahat lagi orang yang membiarkan buku tidak dibaca."
Namun hal itu bukan tidak bisa berubah. Konstruk relasi buku-pembaca seperti di atas akan mengalami koreksi ketika dimungkinkannya sebuah perspektif baru dalam cara kita memandang. Relasi buku-pembaca yang mensyaratkan adanya entitas cinta seperti yang kita pahami selama ini sebenarnya parsial karena tidak menyingkap realitas sebenarnya. Jika dicermati lebih jauh, tidak melulu lewat membaca sesungguhnya manusia dapat menghargai buku, tetapi lewat aktivitas di sekitar buku pula, seperti yang dilakukan pedagang buku, ditemukan kesadaran cinta akan buku.
Di Jogjakarta, seoarang pedagang buku pantas menyandang penghargaan sebagi pedagang cinta buku. Yusuf Agency, begitulah perusahaannya ia beri nama, yang merupakan inisial dari namanya sendiri. Yusuf Agency merupakan agen penjualan "buku ramah pembaca" beraset lebih dari Rp.1 Milyar. Mantan pedagang buku asongan namun kini nasibnya membaik itu memiliki spirit cinta buku yang luar biasa, meski semua orang tau, dia tidak pernah menjadi pembaca dalam arti yang sebenarnya.
Yusuf Agency awalnya menjadi pemborong buku-buku yang gagal di pasar, yang stoknya menumpuk di gudang-gudang penerbit dan distributor. Namun lama-kelamaan buku-buku baru dengan kwalitas bagus juga disediakan, tentu dengan harganya yang berbeda bahkan dari penerbitnya sendiri. Yusuf Agency selalu berjaya ketika diselenggarakan event-event pameran buku di kota-kota besar seperti Jogjakarta, Solo, Malang, Surabaya, Semarang, Bandung, bahkan Jakarta. Memang hanya waktu pameran itulah perusahaan itu melayani pembeli
Agen pemasaran buku tersebut kerap menempelkan slogan provokatif yang membuat sesama saingan bisnisnya bergidik, slogan itu berbunyi; "Obral Buku Termurah se-Indonesia. Cuma Selama Pameran!" Dan itu bisa dibuktikan dengan membludaknya pengunjung di stand tersebut.
Tulisan ini tidak ingin mengulas profil Yusuf Agency secara detail mulai dari awal berdirinya hingga masa saat ini. Hanya saja, seorang pedagang buku seperti dirinya, dimana perhatian besarnya terhadap buku hanya dicurahkan untuk aktivitas selain membaca, masih dengan bangga mengatakan, "Dari saking cintanya sama buku, kemana-mana saya bawa buku. Siapa tahu ada orang butuh untuk dibaca", katanya. "Bahkan ketika chek-up ke rumah sakit, buku juga saya sertakan di mobil."
Kenyataan bahwa buku mempunyai nilai serta fungsi yang beragam bagi pembacanya, hingga karenanya memiliki daya tawar yang tidak rendah, mungkin menjadi motif tersendiri bagi tiap pedagang untuk total menekuni bisnis perbukuan. Tapi bukan itu semata yang menjadikan Yusuf Agency menjalin hubungan intim dengan buku. Pertarungan bisnis sebelum buku akhirnya dapat sampai ke tangan pembaca adalah momentum yang menegaskan karakter Yusuf Agency. Apakah menjaga budaya membaca masyarakat tetap tinggi dengan berusaha menghadirkan "buku ramah pembaca" sesuai tingkat ekonomi masyarakat, atau justru menjaga tradisi tiranik bisnis dunia perbukuan yang kerap disusupi hantu kapitalis? Jika pilihan jatuh pada yang pertama, hal tersebut akan menempatkan pedagang buku di posisi terhormat, seperti yang telah dirintis Yusuf Agency.
Ada beberapa hal harus dipenuhi untuk sampai kepada kearifan pedagang buku. Di antaranya adalah keberanian pedagang bertarung dengan kecendrungan pasar yang bengis untuk menyediakan buku dengan harga di bawah rata-rata. Strateginya ialah memutar modal dengan cepat dengan cara memperkecil selesih harga jual dan harga beli. Dalam bisnis dunia perbukuan yang lamban, strategi tersebur terbilang cukup cerdas. Jika pedagang, pengasong, atau pengusaha buku sanggup berbuat demikian, "credo cinta buku tanpa membaca" pantas ia sematkan. Dan untuk itu, sedikit banyak, Yusuf Agency telah mencoba merintisnya, bukan dengan menjual buku-buku murah tidak berkualitas, tetapi tetap dengan upaya menghadirkan buku-buku bermutu dengan harga yang lebih "ramah".

Jumat, 06 Juni 2008

Mengenang Hari Kelahiran Soekarno

Gerilya Melawan Amnesia Sejarah

Facts as such have no meaning; they can gain it only through our decisions
(Karl Popper).

Semua orang berpendidikan yang hidup di masa setelah kemerdekaan tentu tidak sulit mengingat tanggal 06 Juni 1901 sebagai hari kelahiran Soekarno, proklamator kemerdekaan RI. Hal itu tidak aneh sebab di setiap lembar penulisan sejarah yang diajarkan di bangku-bangku pendidikan, Sokarno tertulis sebagai aktor yang berperan besar terhadap tercapainya kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Apa lagi ditunjang dengan posisinya secara politis sebagai presiden pertama RI, nama Sokarno tidak bisa tidak menjadi sangat populer di mata rakyatnya.
Akan tetapi, sejarah bukan hanya untuk diingat dan dihafal secara kognitif, tetapi lebih dari itu sejarah harus diapresiasi, dikritisi dan dihadirkan dalam kontek yang lebih baru. Begitu pun Soekarno yang lahir di Blitar Jawa Timur 106 tahun yang lalu. Sebagai aktor sejarah, hendaknya Soekerno tidak hanya menjadi romantisme masa lalu tanpa ada nilai yang bisa kita terus serap sebagai pelajaran, untuk kemudian nilai-nilai itu kita internalisasikan dan alih-fungsikan dalam kontek kekinian.
Proses Pelapukan
Namun mencermati fenomena dewasa ini, khususnya dalam kerangka berbangsa dan bernegara, agaknya fenomena amnesia sejarah yang justru terjadi. Soekarno sebatas menjadi figur yang disakralkan dengan segenap penghormatan yang dihadiahkan kepadanya oleh generasi-generasi setelahnya. Karir Soekerno dalam konstelasi pergerakan melawan kolonialisme dan imperealisme pada masa pra kemerdekaan yang begitu heroik memang mendapat pengakuan dari segenap elemen bangsa, tapi di sisi lain, aktivitas, kinerja serta dinamika perpolitikan belum merepsentasikan substansi penghormatan kepada pahlawannya, dan mencegah proses pelapukan sejarah yang melanda terutama para elit politik.
Kita hanya terbiasa memperingati hari-hari besar tokoh pejuang bangsa dan mengenang nama-nama besar pahlawan dari masa silam, tetapi pada esensinya belum mampu mengambil pesan moral, semangat, nilai etis, serta elan vital dari perjuangan para aktor sejarah seperti Soekarno, Hatta, Syharir, Tan Malaka, dan tokoh pejuang Indonesia lainnya.
Hal ini bisa kita tengok dari pencapaian pembangunan SDM kita secara umum, baik yang duduk di birokrasi maupun masyarakat sipil, apalagi di tingkat grossroot. Problem di level masyarakat bawah berupa tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, besarnya jumlah masyarakat buta huruf disebabkan sulitnya akses pendidikan murah, serta lemahnya perekonomian yang berkorelasi pada meningkatnya angka kriminalitas, belum diikuti kemauan politik yang kuat oleh pemerintah. Jangankan political will, yang melanda birokrat justru sebuah ironi. Kesadaran hukum pejabat rendah, kedisiplinan menurun, hedonisme dan elitisme tumbuh subur, pelayanan terhadap publik buruk, kebijakan yang tidak memihak, manajemen kurang profesional, yang pada ujungnya bermuara kepada persoalan korupsi, penyelewengan serta penyalahgunaan kekuasaan.
Secara bijak harus diakui, fenomena itu tidak dengan sendirinya menimpa bangsa Indonesia, namun terdapat berbagai faktor yang berdiri di belakangnya dan bisa dijelaskan sebagai kesalahan segenap elemen bangsa kepada sejarah, terutama kepada para founding father. Setidaknya dua faktor bisa dihadirkan di sini dalam rangka koreksi bersama terhadap sekian problema kebangsaan.
Pertama, tercerabutnya kesadaran pemerintah terhadap amanat undang-undang yang menjadi fondasi sejak bangsa Indonesia merdeka. Kita sebagai bangsa, terutama para elit politik, tidak lagi mempunyai rasa tanggung jawab untuk menjalankan sistem konstitusi secara konsisten demi tegaknya civil society. Nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 45, yang dianggap konstitusi paling sakral di negara kita, telah terdistorsi oleh berbagai ekses kepentingan yang justru berlawanan terhadap kepentingan bangsa secara umum.
Kedua, absennya nalar reflektif terhadap sejarah itu sendiri, berupa sikap euforia mewarisi sebuah bangsa yang merdeka. Sikap euforia ini berimplikasi kepada nihilasi nilai-nilai perjuangan para Bapak Bangsa yang telah berupaya dengan segala perngorbanan besarnya untuk membentuk masyarakat yang terbebas dari ketidakadilan, penindasan, eksplotasi dan penjajahan. Nilai-nilai pengorbanan yang sakral itupun hanya kita maknai sebagai fakta sejarah yang linier tanpa nalar reflektif yang sekiranya membuat generasi pasca kemerdekaan berguru kepada sejarah. Alih-alih belajar, kehilangan kesadaran dan nalar reflektif terhadap sejarah justru mengkonstruk pola pemikiran dan sikap mental serba instan dan pragmatis.
Memaknai Sejarah
Soekarno, yang kita peringati hari lahirnya tanggal 06 Juni ini pernah berujar, ”Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati para pahlawannya”. Artinya, bangsa yang selalu menengok ke belakang, ke masa dimana spirit menjadi bangsa yang besar begitu menggebu seperti kita lihat pada masa pra kemerdekaan. Bangsa besar, menurut Soekarno adalah yang sedia belajar dari pahlawannya, baik dari segi patriotisme yang mereka gelorakan maupun dari sekian kesalahan yang juga mereka lakukan.
Dalam kontek politik-kebangsaan, peristiwa masa lalu itu merupakan sebuah momentum istimewa yang tidak bisa tidak harus diresapi dan dimaknai. Tanpa itu, sejarah, sebagaimana pendapat Karl Popper yang dikutip di awal tulisan ini, tidak akan bermakna apa-apa. Hal ini tentu juga berlaku dalam melihat sejarah Indonesia, termasuk yang berkaitan dengan Soekarno dan kiprah politisnya. Sebagai kenyataan sejarah, apa yang dilakukan oleh Soekarno selaku pejuang bukan lantas menguap ketika dia wafat. Akan tetapi sejauh mana dia menjadi inspirator, motivator, organisator, serta memberi pengaruh terhadap peta perpolitikan Indonesai pra dan pasca kemerdekaan patut menjadi catatan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Memperingati kelahiran Sokarno, secara sempit, kita bisa memaknai kembali sekaligus mengembalikan kesadaran untuk berefleksi dan mengambil hikmah dari Sang Putra Fajar secara personal dengan meneladani sikap dan prilaku positifnya berupa patriotisme, egalitarianisme, anti kolonialisme dan anti elitisme. Kualitas Sokarno secara pribadi penting kita apresiasi untuk memacu semangat generasi muda memberikan kontribusi bagi bangsanya, seperti Soekarno yang juga mengabdikan dirinya demi Indonesia yang amat dicintainya.
Namuan lebih dari itu, secara luas, momentum kelahiran figur sentral dalam perpolitikan awal Indonesia ini juga bisa dimaknai sebagai medium gerilya melawan amnesia sejarah. Yakni kesadaran terhadap sejarah Indonesia secara umum yang dibingkai dalam peta pertarungan melawan penjajah, karena Indonesia memang negara terjajah yang harus terlebih dahulu berdarah-darah membebaskan dirinya. Spirit itulah yang harus dimilik oleh bangsa Indonesia kini demi kuatnya civil society.


Kamis, 05 Juni 2008

Gumam yang Panjang Tentang Sebuah Pilihan

Tiga tahun lebih kurang aku mencoba menggeluti pendidikan di kampusku, tepatnya di fakultas Ushuluddin UIN Sunana Kalijaga Yogyakarta Jurusan Aqidah dan Filsafat (AF). Dalam masa itu, beragam perasaan bercampur aduk datang silih berganti, mengiringi hari-hari yang terus berlalu. Bahagia pada mulanya karena perubahan status diri dari siswa menjadi mahasiswa, terasa biasa setelah aku tahu aktivitas dan kesibukan akademiknya ternyata biasa-biasa saja, lalu terasa agak membosankan sebab lingkungan itu tiba-tiba seperti kehilangan gairah dan pesonanya, dan akhirnya skeptis akibat jurusan yang kupilih mengarah kepada ketakjelasan tujuan serta persoalan kontribusinya bagi masyarakat.
Aku masuk dan menjadi bagian dari civitas akademika UIN Sunan Kalijaga Yogykarta Fakultas Ushuluddin tahun ajaran 2005/2006 dengan bangga. Masa itu adalah masa transisional yang menandai metamorfosis statusku dari siswa menjadi mahasiswa. Status baru itu hanya menimbulkan suatu kesan dominan: bangga dan senang. Dan aku sedang mengalami itu di Yogyakarta, bersama UIN fakultas Ushuluddin jurusan filsafat.
Tidak butuh waktu lama untuk mengukur kemampuan dan kesenanganku terhadap segala nilai positif yang ditawarkan lingkungan baru itu. Informasi tentang berbagai insititusi baik organ ekstra maupun organ intra kampus yang dimaksudkan mewadahi kreatifitas, minat dan potensi seluruh eleman mahasiswa aku himpun dengan harapan dapat mengikuti salah satu dari oranisasi itu dengan giat. Namun, entah karena tabiatku yang idealis dan introvert, aku kesulitan menentukan organisasi dan kegiatan apa yang harus aku geluti. Tak ada satupun yang menarik minatku sehingga aku bisa bergabung dan belajar bersama orang-orang yang kusebut aktivis itu. Ditambah ketiadaan orang yang memberikan pengarahan, bimbingan dan saran, karakterku yang introvert itu akhirnya membawaku kepada semacam isolasi iklim akademik di kampusku yang seharusnya aku peroleh seandainya aku bisa lebih membuka diri.
Praktis, tahun pertama aku hanya tercatat sebagai mahasiswa, tidak lebih. Tak ada kegiatan oraganisatoris yang ku ikuti. Tidak seperti teman-teman lain yang giat dan energik, aku lebih suka menyendiri dan bergaul dengan beberapa gelintir teman dekatku yang waktu itu masih belum menjadi mahasiswa. Sekedar catatan, aku berdomisili di sebuah komonitas kepenulisan di Yogyakarta dimana secara geografis dan tradisi jauh dari atmosfer kehidupan kampus.
Seiring berlalunya waktu, perasaan senang dan bangga yang tadinya menyelubungi perasaanku perlahan-lahan berubah menjadi rasa bosan. Terlebih melihat kemampuan dan prestasi mayoritas mahasiswa yang menurutku tidak ada apa-apanya. Bahkan pola keseharian mereka pun kuketahui tidak lebih dari sekedar kepalsuan yang terus dipelihara. Siang menjadi aktivis mengurus organisasi, tetapi malam hari hanya begadang, ngobrol, senang-senang dan bersikap boros, mereka melupakan aktivias membaca dan menulis, sehingga apresiasi mereka terhadap keilmuan sama sekali tidak menunjukkan progresifitas yang gemilang. Tentu tidak semua mahasiswa seperti itu. Masih ada minoritas kreatif yang setia terhadap pentingnya ilmu pengetahuan dan membaca. Namun sayangnya, mereka tidak terlalu terlibat dalam hiruk-pikuk kegiatan organisasi yang mulai kehilangan atmosfer intelektualitasnya.
Orang-orang seperti ini, beberapa juga merupakan temanku di komunitas itu, yang turut menggeser pemikiranku. Minoritas kreatif dan mempunyai kemandirian intelektual itu berada jauh dari iklim dunia kampus. Dan kepada merekalah aku begitu terobsesi untuk belajar. Maka, kebosanan itu semakin melanda. Semakin tak tertahankan. Yang dengan cepat kemudian berubah menjadi sifat skeptis dan ragu. Khususnya di lingkungan prodiku yang memang merupakan jurusan yang menuntut keseriusan dan ketekunan tinggi sambil harus dipaksa menelan kenyataan pahit bahwa jurusan filsafat sebagai disiplim ilmu budaya (geisteswissenschaften) tak jarang harus berhadapan dengan daya serap lapangan kerja yang minim. Belakangan aku ketahui, menurut survei suatu majalah, bahwa titik depresi jurusan filsafat, tak terkecuali ilmu sosial lain, telah mencapai 5o persen. Itu artinya, 10 di antara 20 orang lulusan ilmu filsafat pasti menganggur atau bekerja di lingkungan yang tidak berhubungan dengan filsafat.
Bukan itu saja alasan yang membuatku harus mengadakan pertimbangan ulang terhadap studiku, akan tetapi fakta yang kuketahui belakangan menunjukkan bahwa di Prodi AF tidak ada orientasi jelas perihal sistem pembelajarannya. Dalam artian, sebagai sebuah jurusan yang konsen terhadap satu disiplin keilmuan, yakni filsafat, justru terjebak ambivalensi yang berbahaya berupa ketidakjelasan fokus dan konsentrasi. Apakah yang dipelajari filsafat secara mendalam ataukah filsafat yang yang bercorak keislaman saja?
Salah satu yang menguatkan kekhawatiran itu ialah tidak diperbolehkannya mahasiswa mengangkat topik sekuler dalam penyelesaian tugas akhir mereka (skripsi). Artinya, semua mahasiswa tidak boleh mengadakan tawar-menawar terkait tokoh filsafat yang akan mereka angkat dalam penulisan tugas akhir tersebut. Semuanya harus mengarah kepada keseragaman prespektif, yakni filsafat dikaitkan dengan keislaman. Padahal secara obyektif, tidak semua ragam dan corak dalam disiplin ilmu filsafat berhubungan dengan Islam, bahkan tokoh-tokoh seperti Nietzsche, John Lock, Sigmund Frued, Karl Marx, bukan hanya tidak berhubungan dengan Islam, namun sekaligus tokoh anti-agama. Tapi, apakah pemikiran mereka tidak boleh diajarkan dan karenanya layak ditinggalkan? Tidak. Semua unsur dan arkeologi pemikiran dalam filsafat tetaplah harus dikaji secara komprehensif dan obyketif.
Sementara, yang terjadi di AF justru penyeragaman dan pengerucutan yang tidak berdasar terhadap satu corak pemikiran filsafat keislamanan. Dalam hal ini, decision maker atau penyusun kurikulum di AF seolah fobia belajar filsafat dari tokoh-tokoh sekuler Barat karena stereotipe mereka yang cenderung anti-religiusitas. Padahal sejarah filsafat yang tersusun dalam bingkai keislaman itu juga mengambil, langsung maupun tidak langsung, sedikit atau banyak, dari sistem filsafat yang telah lebih dulu lahir di Yunani. Dalih yang dikemukakan lagi-lagi kembali kepada motto klasik namun minim filosofi, yakni interaksi dan interkoneksi antara sekularitas dan religiulitas. Interkoneksi apa kalau dosen-dosennya antipati terhadap filsafat Barat? Bagaimana mungkin mahasiswa bisa mendapat suplai keilmuan filsafat apa bila dosennya sendiri kurang antusias menjelaskan seluruh pengetahuan filsafat, khususnya dari Barat?
Ironisnya, sistem yang berlaku tidak menolong AF sendiri untuk menghindar dari dari cap buruk berupa “ladang pemurtadan”. Telah banyak suara-suara sumbang yang menstigmakan bahwa Ushuluddin merupakan ladang bagi mahasiswa yang sok radikal dan sok liberal. Tak kurang dari Adian Husaini, penulis buku non-fiksi terbaik tahun 2006 dengan judul “Wajah Peradaban Barat” yang mencap mahasiswa UIN, utamanya Ushuluddin, sebagai penganut paham Islam Ragu-ragu. Yakni mahasiswa yang belajar Islam, namun pada akhirnya yang didapat justru keraguan akan nilai-nilai Islam sendiri.
Tentu cap bahwa Ushuluddin sebagai ladang pemurtadan di sini merujuk kepada jurusan atau prodi AF, bukannya Sosiologi Agama (SA), atau Perbandingan Agama (PA) apa lagi Tafsir Hadits (TH) yang justru normatif. AF-lah yang mengajarkan mahasiswanya berfilsafat, berpikir radikal, mengedepankan rasio, akan tetapi di sisi lain dipressure dengan wacana-wacana tekstual dan normatif. Terjadilah ambivalensi yang masif, apakah sekuler atau dogmatis? Sungguh, hal ini sedikit disadari oleh para mahasiswanya.
Dalam skopnya yang lebih luas ambivelensi ini bisa dilihat pada unifikasi antara jurusan Tafsir Hadits atau TH dengan AF dalam satu atap Ushuluddin. Sama sekali tidak lucu kita melihat prodi TH yang bercorak sangat dogmatis dan tekstualis dan prodi AF yang rasional berada di bawah naungan satu fakultas. Jadilah mahasiswanya ragu-ragu mengenai identitas keilmuannya. Orang lain juga bingung, mana di antara dua jurusan itu yang mencerminkan identitas Ushuluddin? AF atau TH? Rasionalis atau Tekstualis? Tak dapat ditolak, barangkali terminologi Sigmund Freud dalam dispilin ilmu psikoanalisanya pantas disematkan pada Ushuluddin; split of personality. Yakni keterbelahan diri, keterpecahan identitas, atau semacam krisis kepribadian yang membuat alumni Ushuluddin bingung dan tak punya jati diri keilmuan yang jelas dan membanggakan. Ambivalen....
Inilah barangkali salah satu point yang dikritik Adian Husaini dengan mengintrodusir Islam Ragu-ragu terhadap seluruh komponen Ushuluddin. Sekuler tidak, dogmatis ya (TH). Di sisi lain, dogmatis tidak, sekuler tidak (AF).
Kemudian setelah kerancuan kurikulum dan krisis identitas, ada alasan lain yang justru paling fundamental untuk diungkap, setidaknya dalam gumam panjangku ini. Pertama adalah kemampuan dan kompetensi dosen berdialektiaka dengan mahasiswa. Banyak dosen yang sebenarnya hanya berbicara tentang kebijakan dan birokrasi di lingkungan kampus ketimbang memberi kuliah filsafat kepada mahasiswa. Tentu kebiasaan ini tidak buruk asal dalam proporsi yang seimbang, tapi yang harus dikritisi ketika dosen-dosen itu justru ngomong birokrasi kampus sambil menunjukkan bahwa dirinya seorang birokrat dan pemegang kebijakan (policy maker). Tapi itu hanya dalih dari ketidaksiapan mengajar mahasiswanya sebagaimana materi yang telah ditentukan. Meski tidak semua dosen seperti itu, akan tetapi menurut prediksiku frekuensinya semakin bertambah ke tingkat yang lebih menghawatirkan dari tahun ke tahun. Terus terang, tugas dosen filsat amatlah berat. Butuh pemahaman filosofis dan mendalam untuk merngartikulasikan materi kefilsafatan. Filsafat yang tidak diajarkan dengan cara filosofis, akan mendistorsi keilmuan itu sendiri, dan karenanya sifatnya tidak lagi seperti kuliah filsafat, akan tetapi seperti omongan pasar yang tak jelas epestemologinya.
Dalam bahasa lain, dosen-dosen filsafat yang ada sekarang sudah semakin jauh dari tradisi membaca dan mengkaji pemikiran tokoh-tokoh filsafat. Begitu pentingnya tokoh dalam disiplin ilmu ini sehingg semua teori filsafat tidak bisa dilepaskan dari mengkaji tokoh yang memperkenalkan teori tersebut. Berbeda dengan disiplin ilmu lain seperti ilmu politik, ilmu komonikasi, pendidikan, ekonomi dan lainnya yang lebih menuntut pemahaman praksis (model for), filsafat justru lebih menekankan kepada pemahaman dan penjelasan akan tatanan (model of).
Ilmu dalam klasifikasi model for, sibuk dengan bagaimana mencari penerapan ideal dari sejarah perkembangan ilmu terdahulu untuk diterapkan di ruang dan waktu dalam kontek kekinian dan kedisinian. Sementara dalam klasifikasi kedua, sebagaimana yang terdapat dalam pembelajaran filsafat, justru sibuk memahami model (order) ilmu pengetahuan dari sejarah lahirnya beserta evolusionisme pemikiran para tokohnya, karena memang dispilim ilmu ini tidak begitu menuntut momentum untuk praksisnya, sebagaimana juga ilmu sejarah yang juga berpola sama; explanation. Dan harus diakui, pekerjaan ini sangat berat karena memforsir pemikiran.
Tak salah jika salah satu dosen bilang, modal mengajarkan filsafat itu ada dua; yakni piawai berbicara (speak) dan pandai menulis (writer). Untuk mendapatkan dua keahlian ini, jalannya juga ada dua, yakni berlatih diskusi dan berlatih menulis, selain tekun membaca tentu. Dengan berdiskusi, selain kita mendengarkan, masing-masing orang juga diajar bagaimana membiasakan (to habit) untuk mengartikulasikan pemikiran lewat oral atau bahasa lisan. Sementara dengan membaca, kita menyerap pemahamam lewat bahasa tulisan sehingga nantinya out putnya adalah kemampuan menuangkan gagasan lewat struktur bahasa tulisan. Karena tidak bisa dipungkiri bahasa tulis dan bahasa oral mempunya perbedaan yang signifikan dalam penggunaannya, termasuk untuk kepentingan mengajar. Dosen tidak bisa mengajar kuliah di kelas dengan memakai bahasa tulisan karena tidak bisa detail dan benar-benar jelas. Sementara orang tidak bisa menulis dengan bahasa orasi atau bahasa pidato karena terlalu banyak hal yang tidak penting juga ikut dituliskan, padahal relevansi dan signifikansinya tidak begitu tampak.
Di Ushuluddin, khsusnya AF, mayoritas dosen justru sudah tidak lagi suntuk mengasah keterampilan dua modal dasar tersebut. Mereka sudah tidak lagi menulis, ini terlihat dari minimnya karya tulis dari dosen. Di kelas pun retorika mereka dihadapan mahasiswa buruk, sehingga ketika dosen yang bersangkutan kekurangan tema pembahasan, mahasiswa disuguhi isu-isu birokratis kampus yang kadang menelan hampir 80 persen dari waktu jam pelajaran yang dijadwalkan hari itu. Atau kalau tidak, mahasiswa akan diserahi beban tugas berat penulisan makalah dan presentasi di depan kelas sebagai pelarian dari kemalasan (ketidakmampuan) dosen yang bersangkutan mengajar mahasiswa. Parahnya, ketika mahasiswa absen dari presentasi, kuliah ternyata tidak dilanjutkan karena dosen yang bersangkutan tidak memiliki bahan untuk diomomgkan kecuali isu-sisu birokratsi kampus yang seharusnya tidak etis diberikan ketika waktunya mahasiswa sedang butuh pengajaran materi. Maka konsekuensinya jelas, mahasiswanya tidak paham tentang materi yang diajarkan, sama dengan dosennya yang juga kebingungan dalam menjealskan.
Jika aku mengingat hal ini, maka segeralah keinginan untuk mengundurkan diri dari prodi AF semakin kuat saja. Buat apa belajar kepada dosen-dosen yang tidak paham materi yang diajarkan? Terlebih mana mungkin aku bertahan di fakultas yang sama sekali tak jelas rupa jati diri dan identitasnya, seperti Ushuluddin yang mengamalami split of personility itu? Benar-benar sebuah fatamorgana yang menyesatkan ketika di awal aku terkesan karena menjadi bagian dari komuitas akademik yang tidak asing seperti UIN Sunana Kalijga Fakultas Ushuluddin, kemudian bosan melihat kondisi dan lingkungan akademiknya yang kurang menjanjikan, untuk kemudian aku “kafir” dan memilih mengundurkan diri lingkungan itu untuk selamanya.
Itulah periodesasi kehidupan akademikku di fakultas itu yang terbagi dalam tiga fase yang menurutku wajar terjadi bagi seorang pribadi pecinta petualangan seperti diriku. Petualangan di sini tidak melulu berarti petualangan di alam-geografis yang berupa daratan atau lautan, tetapi juga petualangan dalam alam-psikis berupa pola pikir dan pola kesadaran. Diagnosis diri yang sering aku upayakan membuatku sedikit sadar tentang siapa sebenarya aku. Dan itu cukup membantu untuk menentukan langkah terbaik yang akan kupersiapkan dalam menyongsong masa depan.
Intinya, puncak dari seluruh kalkulasi itu adalah rencanaku mengundurkan diri dari jursan filsafat yang telah aku pilih. Tak ada alasan tunggal yang mendasari keputusan ini, kecuali bahwa ini merupakan keputusan pribadi. Aku memilih berhenti dari jurusan filsafat setelah kuserap semua yang mungkin bisa ku dapat untuk diriku khususnya, dan orang lain umumnya, di masa depan. Tapi yang lebih penting, aku tidak merasa terlambat mengambil keputusan ini.
Sedikti Tentang Diriku
Meski sulit aku rangkum dalam baris-baris kalimat obyketif, setidaknya aku telah mencoba mendefnisikan karakter, kapasitas, keinginan, insight, serta ketertarikanku akan setiap hal. Pertama, yang penting ditekankan bahwa aku terlahir sebagai seorang yang suka suasana longgar, jauh dari ketentuan dan keharusan untuk berbuat sesuatu secara ketat. Kecendrungan ini kunilai positif di satu sisi, tapi juga mengandung sisi negatif dalam sisi yang lain. Sejauh aku masih bisa berkompromi dengan pekerjaan yang menuntut kedisiplinan tinggi, kecendrungan pola sikap ini membuatku selalu rileks melakukan hal seberat apapun. Tidak ada pekerjaan yang akan benar-benar membuatku stress, pusing, tertekan, apa lagi depresi. Karena dengan berpegang pada prinsip kelonggaran itu, seberat dan seketat apapun suatu pekerjaan, akan kusikapi dengan kecendrungan mencari hiburan sambil tetap kuupayakan pekerjaan itu tetap rampung sesuai rencana.
Tapi tidak setiap pekerjaan bisa disikapi dengan pola semacam itu. Sebaliknya, banyak hal yang mengharuskan setiap kita untuk menyelesaikannya dengan kewaspadaan dan konsentrasi yang tinggi, presisi serta akurasi yang ketat, perhitungan yang detail, ketekuanan dan etos yang sungguh-sungguh, serta perencanaan dan pertimbangan yang matang sambil membuang pikiran untuk mencari suasana rekreatif dalam proses penyelesaiannya. Intinya, ada pekerjaan tertentu yang tak kenal kompromi untuk rileks. “Jika kamu ingin maksimal dalam satu hal, maka curahkanlah semua kemampuan dan potensimu untuknya tanpa berpikir mencari hiburan dan kesenangan sebalum segalanya dirampungkan.” Itulah yang berat! Sangat Berat!! Selalu berat!!! Bekerja tanpa selingan seperti menderita dalam neraka.
Ketika aku berhadapan dengan pekerjaan dan tugas semacam itu, maka segera kutemukan sisi negatif dari sikap pengkultusanku terhadap kebebasan. Aku terlalu lemah untuk termotivasi bahwa dalam tugas yang berat, terdapat kepuasan dan kebanggaan tersendiri ketika kita sukses menyelesaikannya. Ibarat pendakian, semakin berat medan yang harus ditaklukkan, semakin besar kepuasan yang dijanjikan. Artinya, dalam setiap hal yang besar terdapat hikmah yang besar. Namun itu selalu berat kusadari.
Kesimpulannya, untuk tugas dan proyek besar yang menuntut ditanggalkannya pikiran rekreatif dalam melaksanakannya, lebih dari separuhnya aku tinggalkan. Bahkan yang terpaksa aku laksanakan, hasilnya tetap tak bisa memuaskan. Dampak negatif terjauh dari sikap mengangungkan kebebasan ini adalah bahwa aku sulit mencatat prestasi fenomenal. Aku tidak bisa berkorban waktu, uang, kenyamanan, kesempatan bermain-main dan mencari hiburan saat ini untuk ditukarkan dengan imbalan dari pekerjaan berat itu nanti. In the other hand, aku lebih baik merasakan satu kali manisnya hari ini, dari pada merasakan dua kali manisnya hari nanti. Dari sisi pragmatis, sesuatu menjadi menarik jika mudah dan instan.
Kedua, dari hasil diagnosisku, aku memperoleh keterangan bahwa diriku tidak bisa nyaman berada di satu suasana, di satu lingkungan, di satu kebiasaan dan tradisi, dan disatu pola hidup yang monoton. Harus lebih banyak ragam pola hidup, tradisi, suasana, lingkungan serta kesenangan yang ditawarkan agar aku bisa merasakan betapa hidup ini memang indah dan penuh warna. Tuntutan bahwa hidup itu harus berwarna adalah sikapku yang cepat merelatifkan terhadap penilaaianku sendiri tentang suasana, lingkungan, pola hidup, serta tradisi. Suatu lingkungan atau tradisi kuanggap menarik dan oleh karenanya menawarkan suatu yang menyenangkan, bisa jadi seiring berlalunya waktu hal itu berubah menjadi membosankan.
Pengalamanku menulis dan mencoba menjadi penulis adalah suatu hal menyenangkan. Dengan kriteria pragmatis bahwa tulisan itu harus dipublikasikan agar penulisnya bisa diakui, maka aku menetapkan kriteria itu untuk sementara. Itulah targetku dalam kepenulisan yang kuupayakan terus, tentu dengan tidak meninggalkan sisi rekreatif yang mungkin bisa dinikmati dari aktivitas itu. Akan tetapi, setelah target itu dicapai, aku tidak mampu memompa etosku lebih kuat lagi. Tidak ada transformasi target yang seharusnya ditingkatkan. Menurutku, setelah tulisanku terpublikasikan, sudah berakhir semuanya. Tugasku sudah selesai, sekarang tinggal mencari pengalaman baru yang belum pernah aku cicipi. Persetan orang-orang mau mengakui bahwa aku penulis atau bukan, yang penting target dalam diriku telah aku capai. Dan itu target personal yang independen dan otonom, tanpa orang bisa menetapkan standar lain dari target itu. Itulah goal. Dan aku tidak perlu lagi bernafsu agar tulisanku dimuat lebih banyak lagi, sehingga aku semakin diakui sebagai penulis. Tidak! Asumsiku mengatakan, sekali bisa mencapai target, maka dua kali pun bisa. Sekali kita bisa mengalami satu hal, maka tak ada alasan gagal untuk yang kedua. Sekali tulisanku bisa dimuat, mengapa dua, tiga, empat, atau lima tidak bisa?
Kembali lagi kepada kehidupan akademikku di kampus, maka kecendrunganku yang kedua itulah yang menjadi pemicu dari keputusan dan penilaianku. Enam semester aku tercatat sebagai mahasiswa akidah dan filsafat Fakultas Ushuluddin, selama itu pula aku memproklamirkan identitasku kepada publik lewat tulisanku yang dimuat media massa. Bagi orang yang kebetulan membaca tulisan itu, mungkin akan berpikir bahwa jurusan AF dihuni orang-orang kritis dan cerdas dengan etos dan intensionlitas yang tinggi dalam dunia tulis menulis. Mungkin pula mereka beranggapan bahwa jurusan filsafat dihuni oleh orang-orang pintar dan berbakat.
Padahal, seandainya mereka terlibat di dalam prodi tersebut, mereka akan berhadapan dengan kesalahan peniliaian yang akut. Aku pernah mendengar cerita tentang temanku yang juga mengaku salah jurusan, ya seperti aku saat ini. Mereka merasa tidak confident dengan kuliah yang mereka jalani dengan berbagai macam alasan. Yang utama dan selalu ada dalam alasan mereka adalah persoalan prospek, selebihnya persoalan kompetensi dan kontribusi pada masyarakat.
Persoalan prospek adalah orientasi yang memang dipersiapkan oleh pengelola jurusan di Perguruan Tinggi tertentu untuk memfasilitasi mahasiswanya terjun dalam masyarakat. Tidak boleh tidak semua jurusan harus mempunyai spesifikasi yang jelas untuk mengawal dan mencetak out put yang berprestasi. Akan tetapi problem muncul ketika mahasiswa yang bersangkutan kadang merasa tidak mampu mengikuti kurikulum yang disediakan. Mereka merasa materi yang diajarkan bukan merupakan spesifikasi yang cocok terhadap keahlian dan basis keilmuan mereka yang biasanya didapat sebelum masuk bangku kuliah, sehingga timbullah perasaan inlander dalam kontek keilmuan.
Tak jarang fenomena itu terjadi terhadap mahasiswa, meski tentu saja tidak setiap mahasiswa menderita penyakit restless akut semecam itu. Menurutku, wajarlah merasa salah jurusan karena hal itu berarti indikasi bagi adanya kesadaran untuk berpikir panjang tentang spesifikasi keilmuan yang mereka ambil. Gelisah dan merasa salah jurusan dalam hal ini masih pada tempatnya sehingga bisa ditolerir. Coba bandingkan dengan mahasiswa yang memang belum pernah merasa gelisah. Hanya ada dua kemungkinan untuk mahasiswa bertipe semacam itu. Pertama, bahwa mahasiswa semacam itu sudah seratus persen cocok dengan jurusan yang diambil, kedua, mahasiswa tersebut seratus persen tidak tahu apakah jurusan yang mereka ambil benar-benar akan memenuhi kebutuhan mereka di masa depan. Untuk yang pertama, mereka berproses dengan serius dan taat mengkuti ketentuan di kampus dengan penuh pertimbangan, sementara yang kedua hanyut dalam hiruk-pikuk pembelajaran di kampus tanpa pertimbangan. Jelas di masa depan, kedua tipe mahasiswa semacam itu akan memetik hasil yang berbeda.
Itulah yang kemudian mendasari kegelisahanku saat ini. Sebagaimana filosof Yunani terhadulu yang gelisah pula melihat kebodohan yang menggumpal dalam tradisi mitologi yang lestari sebagai warisan nenek moyang, para minoritas kreatif itu lantas menerobos pakem dan berani keluar dari maenstream berpikir yang normal. Jadilah mereka filosof dikemudian hari, dan kepada mereka kita memberikan penghargaan yang tinggi. Di sadari atau tidak, itu semua bermula dari rasa gelisah seorang pribadi terhadap fakta dan kenyataan yang butuh penyikapan tertentu. Socrates di Athena adalah pribadi gelisah, dalam artian kegelisahannya mula-mula terasa sebagai kegelisahan yang sifatnya personal, akan tetapi kemudian berdiaspora menjadi kegelisahan komunal, meski komunal tidak dengan sendirinya berarti mayoritas.
Ya, gelisah memang tidak harus berjamaah. Cukup satu orang merasa gelisah, dan itu cukup untuk menggetarkan sendi-sendi peradaban ketika kegelisahan itu disikapi dengan baik. Dalam kontek ini, kegelisahanku merupakan pilihan pribadi. Dan hanya cukup untuk disikapi secara pribadi pula. Aku tidak takut terhadap pilihan ini karena tidak menyangkut kepentingan orang lain. Untuk kontek keilmuan, otonomi dalam memilih disiplin mana yang akan didalami memang sah dan dalam etika inilah rencana kepindahanku menemukan legitimasi.
Setiap manusia bertumbuh seiring perkembangan mentalitas dalam dirinya, dan itu terjadi dalam diriku dengan pola evolusionistis yang lamban. Hampir tidak terdeteksi oleh sensor dalam diriku bahwa tiga tahun aku belajar di jurusan yang merupakan pilihan pertamaku, aku menginginkan sesuatu yang lebih dari sekedar belajar filsafat dan tetek-bengeknya. Lebih dari itu aku ingin sesuatu yang bisa memuaskan keinginananku. Untuk itu bergumam. Tentang sebuah pilihan tentu.......salam!