Kamis, 05 Juni 2008

Gumam yang Panjang Tentang Sebuah Pilihan

Tiga tahun lebih kurang aku mencoba menggeluti pendidikan di kampusku, tepatnya di fakultas Ushuluddin UIN Sunana Kalijaga Yogyakarta Jurusan Aqidah dan Filsafat (AF). Dalam masa itu, beragam perasaan bercampur aduk datang silih berganti, mengiringi hari-hari yang terus berlalu. Bahagia pada mulanya karena perubahan status diri dari siswa menjadi mahasiswa, terasa biasa setelah aku tahu aktivitas dan kesibukan akademiknya ternyata biasa-biasa saja, lalu terasa agak membosankan sebab lingkungan itu tiba-tiba seperti kehilangan gairah dan pesonanya, dan akhirnya skeptis akibat jurusan yang kupilih mengarah kepada ketakjelasan tujuan serta persoalan kontribusinya bagi masyarakat.
Aku masuk dan menjadi bagian dari civitas akademika UIN Sunan Kalijaga Yogykarta Fakultas Ushuluddin tahun ajaran 2005/2006 dengan bangga. Masa itu adalah masa transisional yang menandai metamorfosis statusku dari siswa menjadi mahasiswa. Status baru itu hanya menimbulkan suatu kesan dominan: bangga dan senang. Dan aku sedang mengalami itu di Yogyakarta, bersama UIN fakultas Ushuluddin jurusan filsafat.
Tidak butuh waktu lama untuk mengukur kemampuan dan kesenanganku terhadap segala nilai positif yang ditawarkan lingkungan baru itu. Informasi tentang berbagai insititusi baik organ ekstra maupun organ intra kampus yang dimaksudkan mewadahi kreatifitas, minat dan potensi seluruh eleman mahasiswa aku himpun dengan harapan dapat mengikuti salah satu dari oranisasi itu dengan giat. Namun, entah karena tabiatku yang idealis dan introvert, aku kesulitan menentukan organisasi dan kegiatan apa yang harus aku geluti. Tak ada satupun yang menarik minatku sehingga aku bisa bergabung dan belajar bersama orang-orang yang kusebut aktivis itu. Ditambah ketiadaan orang yang memberikan pengarahan, bimbingan dan saran, karakterku yang introvert itu akhirnya membawaku kepada semacam isolasi iklim akademik di kampusku yang seharusnya aku peroleh seandainya aku bisa lebih membuka diri.
Praktis, tahun pertama aku hanya tercatat sebagai mahasiswa, tidak lebih. Tak ada kegiatan oraganisatoris yang ku ikuti. Tidak seperti teman-teman lain yang giat dan energik, aku lebih suka menyendiri dan bergaul dengan beberapa gelintir teman dekatku yang waktu itu masih belum menjadi mahasiswa. Sekedar catatan, aku berdomisili di sebuah komonitas kepenulisan di Yogyakarta dimana secara geografis dan tradisi jauh dari atmosfer kehidupan kampus.
Seiring berlalunya waktu, perasaan senang dan bangga yang tadinya menyelubungi perasaanku perlahan-lahan berubah menjadi rasa bosan. Terlebih melihat kemampuan dan prestasi mayoritas mahasiswa yang menurutku tidak ada apa-apanya. Bahkan pola keseharian mereka pun kuketahui tidak lebih dari sekedar kepalsuan yang terus dipelihara. Siang menjadi aktivis mengurus organisasi, tetapi malam hari hanya begadang, ngobrol, senang-senang dan bersikap boros, mereka melupakan aktivias membaca dan menulis, sehingga apresiasi mereka terhadap keilmuan sama sekali tidak menunjukkan progresifitas yang gemilang. Tentu tidak semua mahasiswa seperti itu. Masih ada minoritas kreatif yang setia terhadap pentingnya ilmu pengetahuan dan membaca. Namun sayangnya, mereka tidak terlalu terlibat dalam hiruk-pikuk kegiatan organisasi yang mulai kehilangan atmosfer intelektualitasnya.
Orang-orang seperti ini, beberapa juga merupakan temanku di komunitas itu, yang turut menggeser pemikiranku. Minoritas kreatif dan mempunyai kemandirian intelektual itu berada jauh dari iklim dunia kampus. Dan kepada merekalah aku begitu terobsesi untuk belajar. Maka, kebosanan itu semakin melanda. Semakin tak tertahankan. Yang dengan cepat kemudian berubah menjadi sifat skeptis dan ragu. Khususnya di lingkungan prodiku yang memang merupakan jurusan yang menuntut keseriusan dan ketekunan tinggi sambil harus dipaksa menelan kenyataan pahit bahwa jurusan filsafat sebagai disiplim ilmu budaya (geisteswissenschaften) tak jarang harus berhadapan dengan daya serap lapangan kerja yang minim. Belakangan aku ketahui, menurut survei suatu majalah, bahwa titik depresi jurusan filsafat, tak terkecuali ilmu sosial lain, telah mencapai 5o persen. Itu artinya, 10 di antara 20 orang lulusan ilmu filsafat pasti menganggur atau bekerja di lingkungan yang tidak berhubungan dengan filsafat.
Bukan itu saja alasan yang membuatku harus mengadakan pertimbangan ulang terhadap studiku, akan tetapi fakta yang kuketahui belakangan menunjukkan bahwa di Prodi AF tidak ada orientasi jelas perihal sistem pembelajarannya. Dalam artian, sebagai sebuah jurusan yang konsen terhadap satu disiplin keilmuan, yakni filsafat, justru terjebak ambivalensi yang berbahaya berupa ketidakjelasan fokus dan konsentrasi. Apakah yang dipelajari filsafat secara mendalam ataukah filsafat yang yang bercorak keislaman saja?
Salah satu yang menguatkan kekhawatiran itu ialah tidak diperbolehkannya mahasiswa mengangkat topik sekuler dalam penyelesaian tugas akhir mereka (skripsi). Artinya, semua mahasiswa tidak boleh mengadakan tawar-menawar terkait tokoh filsafat yang akan mereka angkat dalam penulisan tugas akhir tersebut. Semuanya harus mengarah kepada keseragaman prespektif, yakni filsafat dikaitkan dengan keislaman. Padahal secara obyektif, tidak semua ragam dan corak dalam disiplin ilmu filsafat berhubungan dengan Islam, bahkan tokoh-tokoh seperti Nietzsche, John Lock, Sigmund Frued, Karl Marx, bukan hanya tidak berhubungan dengan Islam, namun sekaligus tokoh anti-agama. Tapi, apakah pemikiran mereka tidak boleh diajarkan dan karenanya layak ditinggalkan? Tidak. Semua unsur dan arkeologi pemikiran dalam filsafat tetaplah harus dikaji secara komprehensif dan obyketif.
Sementara, yang terjadi di AF justru penyeragaman dan pengerucutan yang tidak berdasar terhadap satu corak pemikiran filsafat keislamanan. Dalam hal ini, decision maker atau penyusun kurikulum di AF seolah fobia belajar filsafat dari tokoh-tokoh sekuler Barat karena stereotipe mereka yang cenderung anti-religiusitas. Padahal sejarah filsafat yang tersusun dalam bingkai keislaman itu juga mengambil, langsung maupun tidak langsung, sedikit atau banyak, dari sistem filsafat yang telah lebih dulu lahir di Yunani. Dalih yang dikemukakan lagi-lagi kembali kepada motto klasik namun minim filosofi, yakni interaksi dan interkoneksi antara sekularitas dan religiulitas. Interkoneksi apa kalau dosen-dosennya antipati terhadap filsafat Barat? Bagaimana mungkin mahasiswa bisa mendapat suplai keilmuan filsafat apa bila dosennya sendiri kurang antusias menjelaskan seluruh pengetahuan filsafat, khususnya dari Barat?
Ironisnya, sistem yang berlaku tidak menolong AF sendiri untuk menghindar dari dari cap buruk berupa “ladang pemurtadan”. Telah banyak suara-suara sumbang yang menstigmakan bahwa Ushuluddin merupakan ladang bagi mahasiswa yang sok radikal dan sok liberal. Tak kurang dari Adian Husaini, penulis buku non-fiksi terbaik tahun 2006 dengan judul “Wajah Peradaban Barat” yang mencap mahasiswa UIN, utamanya Ushuluddin, sebagai penganut paham Islam Ragu-ragu. Yakni mahasiswa yang belajar Islam, namun pada akhirnya yang didapat justru keraguan akan nilai-nilai Islam sendiri.
Tentu cap bahwa Ushuluddin sebagai ladang pemurtadan di sini merujuk kepada jurusan atau prodi AF, bukannya Sosiologi Agama (SA), atau Perbandingan Agama (PA) apa lagi Tafsir Hadits (TH) yang justru normatif. AF-lah yang mengajarkan mahasiswanya berfilsafat, berpikir radikal, mengedepankan rasio, akan tetapi di sisi lain dipressure dengan wacana-wacana tekstual dan normatif. Terjadilah ambivalensi yang masif, apakah sekuler atau dogmatis? Sungguh, hal ini sedikit disadari oleh para mahasiswanya.
Dalam skopnya yang lebih luas ambivelensi ini bisa dilihat pada unifikasi antara jurusan Tafsir Hadits atau TH dengan AF dalam satu atap Ushuluddin. Sama sekali tidak lucu kita melihat prodi TH yang bercorak sangat dogmatis dan tekstualis dan prodi AF yang rasional berada di bawah naungan satu fakultas. Jadilah mahasiswanya ragu-ragu mengenai identitas keilmuannya. Orang lain juga bingung, mana di antara dua jurusan itu yang mencerminkan identitas Ushuluddin? AF atau TH? Rasionalis atau Tekstualis? Tak dapat ditolak, barangkali terminologi Sigmund Freud dalam dispilin ilmu psikoanalisanya pantas disematkan pada Ushuluddin; split of personality. Yakni keterbelahan diri, keterpecahan identitas, atau semacam krisis kepribadian yang membuat alumni Ushuluddin bingung dan tak punya jati diri keilmuan yang jelas dan membanggakan. Ambivalen....
Inilah barangkali salah satu point yang dikritik Adian Husaini dengan mengintrodusir Islam Ragu-ragu terhadap seluruh komponen Ushuluddin. Sekuler tidak, dogmatis ya (TH). Di sisi lain, dogmatis tidak, sekuler tidak (AF).
Kemudian setelah kerancuan kurikulum dan krisis identitas, ada alasan lain yang justru paling fundamental untuk diungkap, setidaknya dalam gumam panjangku ini. Pertama adalah kemampuan dan kompetensi dosen berdialektiaka dengan mahasiswa. Banyak dosen yang sebenarnya hanya berbicara tentang kebijakan dan birokrasi di lingkungan kampus ketimbang memberi kuliah filsafat kepada mahasiswa. Tentu kebiasaan ini tidak buruk asal dalam proporsi yang seimbang, tapi yang harus dikritisi ketika dosen-dosen itu justru ngomong birokrasi kampus sambil menunjukkan bahwa dirinya seorang birokrat dan pemegang kebijakan (policy maker). Tapi itu hanya dalih dari ketidaksiapan mengajar mahasiswanya sebagaimana materi yang telah ditentukan. Meski tidak semua dosen seperti itu, akan tetapi menurut prediksiku frekuensinya semakin bertambah ke tingkat yang lebih menghawatirkan dari tahun ke tahun. Terus terang, tugas dosen filsat amatlah berat. Butuh pemahaman filosofis dan mendalam untuk merngartikulasikan materi kefilsafatan. Filsafat yang tidak diajarkan dengan cara filosofis, akan mendistorsi keilmuan itu sendiri, dan karenanya sifatnya tidak lagi seperti kuliah filsafat, akan tetapi seperti omongan pasar yang tak jelas epestemologinya.
Dalam bahasa lain, dosen-dosen filsafat yang ada sekarang sudah semakin jauh dari tradisi membaca dan mengkaji pemikiran tokoh-tokoh filsafat. Begitu pentingnya tokoh dalam disiplin ilmu ini sehingg semua teori filsafat tidak bisa dilepaskan dari mengkaji tokoh yang memperkenalkan teori tersebut. Berbeda dengan disiplin ilmu lain seperti ilmu politik, ilmu komonikasi, pendidikan, ekonomi dan lainnya yang lebih menuntut pemahaman praksis (model for), filsafat justru lebih menekankan kepada pemahaman dan penjelasan akan tatanan (model of).
Ilmu dalam klasifikasi model for, sibuk dengan bagaimana mencari penerapan ideal dari sejarah perkembangan ilmu terdahulu untuk diterapkan di ruang dan waktu dalam kontek kekinian dan kedisinian. Sementara dalam klasifikasi kedua, sebagaimana yang terdapat dalam pembelajaran filsafat, justru sibuk memahami model (order) ilmu pengetahuan dari sejarah lahirnya beserta evolusionisme pemikiran para tokohnya, karena memang dispilim ilmu ini tidak begitu menuntut momentum untuk praksisnya, sebagaimana juga ilmu sejarah yang juga berpola sama; explanation. Dan harus diakui, pekerjaan ini sangat berat karena memforsir pemikiran.
Tak salah jika salah satu dosen bilang, modal mengajarkan filsafat itu ada dua; yakni piawai berbicara (speak) dan pandai menulis (writer). Untuk mendapatkan dua keahlian ini, jalannya juga ada dua, yakni berlatih diskusi dan berlatih menulis, selain tekun membaca tentu. Dengan berdiskusi, selain kita mendengarkan, masing-masing orang juga diajar bagaimana membiasakan (to habit) untuk mengartikulasikan pemikiran lewat oral atau bahasa lisan. Sementara dengan membaca, kita menyerap pemahamam lewat bahasa tulisan sehingga nantinya out putnya adalah kemampuan menuangkan gagasan lewat struktur bahasa tulisan. Karena tidak bisa dipungkiri bahasa tulis dan bahasa oral mempunya perbedaan yang signifikan dalam penggunaannya, termasuk untuk kepentingan mengajar. Dosen tidak bisa mengajar kuliah di kelas dengan memakai bahasa tulisan karena tidak bisa detail dan benar-benar jelas. Sementara orang tidak bisa menulis dengan bahasa orasi atau bahasa pidato karena terlalu banyak hal yang tidak penting juga ikut dituliskan, padahal relevansi dan signifikansinya tidak begitu tampak.
Di Ushuluddin, khsusnya AF, mayoritas dosen justru sudah tidak lagi suntuk mengasah keterampilan dua modal dasar tersebut. Mereka sudah tidak lagi menulis, ini terlihat dari minimnya karya tulis dari dosen. Di kelas pun retorika mereka dihadapan mahasiswa buruk, sehingga ketika dosen yang bersangkutan kekurangan tema pembahasan, mahasiswa disuguhi isu-isu birokratis kampus yang kadang menelan hampir 80 persen dari waktu jam pelajaran yang dijadwalkan hari itu. Atau kalau tidak, mahasiswa akan diserahi beban tugas berat penulisan makalah dan presentasi di depan kelas sebagai pelarian dari kemalasan (ketidakmampuan) dosen yang bersangkutan mengajar mahasiswa. Parahnya, ketika mahasiswa absen dari presentasi, kuliah ternyata tidak dilanjutkan karena dosen yang bersangkutan tidak memiliki bahan untuk diomomgkan kecuali isu-sisu birokratsi kampus yang seharusnya tidak etis diberikan ketika waktunya mahasiswa sedang butuh pengajaran materi. Maka konsekuensinya jelas, mahasiswanya tidak paham tentang materi yang diajarkan, sama dengan dosennya yang juga kebingungan dalam menjealskan.
Jika aku mengingat hal ini, maka segeralah keinginan untuk mengundurkan diri dari prodi AF semakin kuat saja. Buat apa belajar kepada dosen-dosen yang tidak paham materi yang diajarkan? Terlebih mana mungkin aku bertahan di fakultas yang sama sekali tak jelas rupa jati diri dan identitasnya, seperti Ushuluddin yang mengamalami split of personility itu? Benar-benar sebuah fatamorgana yang menyesatkan ketika di awal aku terkesan karena menjadi bagian dari komuitas akademik yang tidak asing seperti UIN Sunana Kalijga Fakultas Ushuluddin, kemudian bosan melihat kondisi dan lingkungan akademiknya yang kurang menjanjikan, untuk kemudian aku “kafir” dan memilih mengundurkan diri lingkungan itu untuk selamanya.
Itulah periodesasi kehidupan akademikku di fakultas itu yang terbagi dalam tiga fase yang menurutku wajar terjadi bagi seorang pribadi pecinta petualangan seperti diriku. Petualangan di sini tidak melulu berarti petualangan di alam-geografis yang berupa daratan atau lautan, tetapi juga petualangan dalam alam-psikis berupa pola pikir dan pola kesadaran. Diagnosis diri yang sering aku upayakan membuatku sedikit sadar tentang siapa sebenarya aku. Dan itu cukup membantu untuk menentukan langkah terbaik yang akan kupersiapkan dalam menyongsong masa depan.
Intinya, puncak dari seluruh kalkulasi itu adalah rencanaku mengundurkan diri dari jursan filsafat yang telah aku pilih. Tak ada alasan tunggal yang mendasari keputusan ini, kecuali bahwa ini merupakan keputusan pribadi. Aku memilih berhenti dari jurusan filsafat setelah kuserap semua yang mungkin bisa ku dapat untuk diriku khususnya, dan orang lain umumnya, di masa depan. Tapi yang lebih penting, aku tidak merasa terlambat mengambil keputusan ini.
Sedikti Tentang Diriku
Meski sulit aku rangkum dalam baris-baris kalimat obyketif, setidaknya aku telah mencoba mendefnisikan karakter, kapasitas, keinginan, insight, serta ketertarikanku akan setiap hal. Pertama, yang penting ditekankan bahwa aku terlahir sebagai seorang yang suka suasana longgar, jauh dari ketentuan dan keharusan untuk berbuat sesuatu secara ketat. Kecendrungan ini kunilai positif di satu sisi, tapi juga mengandung sisi negatif dalam sisi yang lain. Sejauh aku masih bisa berkompromi dengan pekerjaan yang menuntut kedisiplinan tinggi, kecendrungan pola sikap ini membuatku selalu rileks melakukan hal seberat apapun. Tidak ada pekerjaan yang akan benar-benar membuatku stress, pusing, tertekan, apa lagi depresi. Karena dengan berpegang pada prinsip kelonggaran itu, seberat dan seketat apapun suatu pekerjaan, akan kusikapi dengan kecendrungan mencari hiburan sambil tetap kuupayakan pekerjaan itu tetap rampung sesuai rencana.
Tapi tidak setiap pekerjaan bisa disikapi dengan pola semacam itu. Sebaliknya, banyak hal yang mengharuskan setiap kita untuk menyelesaikannya dengan kewaspadaan dan konsentrasi yang tinggi, presisi serta akurasi yang ketat, perhitungan yang detail, ketekuanan dan etos yang sungguh-sungguh, serta perencanaan dan pertimbangan yang matang sambil membuang pikiran untuk mencari suasana rekreatif dalam proses penyelesaiannya. Intinya, ada pekerjaan tertentu yang tak kenal kompromi untuk rileks. “Jika kamu ingin maksimal dalam satu hal, maka curahkanlah semua kemampuan dan potensimu untuknya tanpa berpikir mencari hiburan dan kesenangan sebalum segalanya dirampungkan.” Itulah yang berat! Sangat Berat!! Selalu berat!!! Bekerja tanpa selingan seperti menderita dalam neraka.
Ketika aku berhadapan dengan pekerjaan dan tugas semacam itu, maka segera kutemukan sisi negatif dari sikap pengkultusanku terhadap kebebasan. Aku terlalu lemah untuk termotivasi bahwa dalam tugas yang berat, terdapat kepuasan dan kebanggaan tersendiri ketika kita sukses menyelesaikannya. Ibarat pendakian, semakin berat medan yang harus ditaklukkan, semakin besar kepuasan yang dijanjikan. Artinya, dalam setiap hal yang besar terdapat hikmah yang besar. Namun itu selalu berat kusadari.
Kesimpulannya, untuk tugas dan proyek besar yang menuntut ditanggalkannya pikiran rekreatif dalam melaksanakannya, lebih dari separuhnya aku tinggalkan. Bahkan yang terpaksa aku laksanakan, hasilnya tetap tak bisa memuaskan. Dampak negatif terjauh dari sikap mengangungkan kebebasan ini adalah bahwa aku sulit mencatat prestasi fenomenal. Aku tidak bisa berkorban waktu, uang, kenyamanan, kesempatan bermain-main dan mencari hiburan saat ini untuk ditukarkan dengan imbalan dari pekerjaan berat itu nanti. In the other hand, aku lebih baik merasakan satu kali manisnya hari ini, dari pada merasakan dua kali manisnya hari nanti. Dari sisi pragmatis, sesuatu menjadi menarik jika mudah dan instan.
Kedua, dari hasil diagnosisku, aku memperoleh keterangan bahwa diriku tidak bisa nyaman berada di satu suasana, di satu lingkungan, di satu kebiasaan dan tradisi, dan disatu pola hidup yang monoton. Harus lebih banyak ragam pola hidup, tradisi, suasana, lingkungan serta kesenangan yang ditawarkan agar aku bisa merasakan betapa hidup ini memang indah dan penuh warna. Tuntutan bahwa hidup itu harus berwarna adalah sikapku yang cepat merelatifkan terhadap penilaaianku sendiri tentang suasana, lingkungan, pola hidup, serta tradisi. Suatu lingkungan atau tradisi kuanggap menarik dan oleh karenanya menawarkan suatu yang menyenangkan, bisa jadi seiring berlalunya waktu hal itu berubah menjadi membosankan.
Pengalamanku menulis dan mencoba menjadi penulis adalah suatu hal menyenangkan. Dengan kriteria pragmatis bahwa tulisan itu harus dipublikasikan agar penulisnya bisa diakui, maka aku menetapkan kriteria itu untuk sementara. Itulah targetku dalam kepenulisan yang kuupayakan terus, tentu dengan tidak meninggalkan sisi rekreatif yang mungkin bisa dinikmati dari aktivitas itu. Akan tetapi, setelah target itu dicapai, aku tidak mampu memompa etosku lebih kuat lagi. Tidak ada transformasi target yang seharusnya ditingkatkan. Menurutku, setelah tulisanku terpublikasikan, sudah berakhir semuanya. Tugasku sudah selesai, sekarang tinggal mencari pengalaman baru yang belum pernah aku cicipi. Persetan orang-orang mau mengakui bahwa aku penulis atau bukan, yang penting target dalam diriku telah aku capai. Dan itu target personal yang independen dan otonom, tanpa orang bisa menetapkan standar lain dari target itu. Itulah goal. Dan aku tidak perlu lagi bernafsu agar tulisanku dimuat lebih banyak lagi, sehingga aku semakin diakui sebagai penulis. Tidak! Asumsiku mengatakan, sekali bisa mencapai target, maka dua kali pun bisa. Sekali kita bisa mengalami satu hal, maka tak ada alasan gagal untuk yang kedua. Sekali tulisanku bisa dimuat, mengapa dua, tiga, empat, atau lima tidak bisa?
Kembali lagi kepada kehidupan akademikku di kampus, maka kecendrunganku yang kedua itulah yang menjadi pemicu dari keputusan dan penilaianku. Enam semester aku tercatat sebagai mahasiswa akidah dan filsafat Fakultas Ushuluddin, selama itu pula aku memproklamirkan identitasku kepada publik lewat tulisanku yang dimuat media massa. Bagi orang yang kebetulan membaca tulisan itu, mungkin akan berpikir bahwa jurusan AF dihuni orang-orang kritis dan cerdas dengan etos dan intensionlitas yang tinggi dalam dunia tulis menulis. Mungkin pula mereka beranggapan bahwa jurusan filsafat dihuni oleh orang-orang pintar dan berbakat.
Padahal, seandainya mereka terlibat di dalam prodi tersebut, mereka akan berhadapan dengan kesalahan peniliaian yang akut. Aku pernah mendengar cerita tentang temanku yang juga mengaku salah jurusan, ya seperti aku saat ini. Mereka merasa tidak confident dengan kuliah yang mereka jalani dengan berbagai macam alasan. Yang utama dan selalu ada dalam alasan mereka adalah persoalan prospek, selebihnya persoalan kompetensi dan kontribusi pada masyarakat.
Persoalan prospek adalah orientasi yang memang dipersiapkan oleh pengelola jurusan di Perguruan Tinggi tertentu untuk memfasilitasi mahasiswanya terjun dalam masyarakat. Tidak boleh tidak semua jurusan harus mempunyai spesifikasi yang jelas untuk mengawal dan mencetak out put yang berprestasi. Akan tetapi problem muncul ketika mahasiswa yang bersangkutan kadang merasa tidak mampu mengikuti kurikulum yang disediakan. Mereka merasa materi yang diajarkan bukan merupakan spesifikasi yang cocok terhadap keahlian dan basis keilmuan mereka yang biasanya didapat sebelum masuk bangku kuliah, sehingga timbullah perasaan inlander dalam kontek keilmuan.
Tak jarang fenomena itu terjadi terhadap mahasiswa, meski tentu saja tidak setiap mahasiswa menderita penyakit restless akut semecam itu. Menurutku, wajarlah merasa salah jurusan karena hal itu berarti indikasi bagi adanya kesadaran untuk berpikir panjang tentang spesifikasi keilmuan yang mereka ambil. Gelisah dan merasa salah jurusan dalam hal ini masih pada tempatnya sehingga bisa ditolerir. Coba bandingkan dengan mahasiswa yang memang belum pernah merasa gelisah. Hanya ada dua kemungkinan untuk mahasiswa bertipe semacam itu. Pertama, bahwa mahasiswa semacam itu sudah seratus persen cocok dengan jurusan yang diambil, kedua, mahasiswa tersebut seratus persen tidak tahu apakah jurusan yang mereka ambil benar-benar akan memenuhi kebutuhan mereka di masa depan. Untuk yang pertama, mereka berproses dengan serius dan taat mengkuti ketentuan di kampus dengan penuh pertimbangan, sementara yang kedua hanyut dalam hiruk-pikuk pembelajaran di kampus tanpa pertimbangan. Jelas di masa depan, kedua tipe mahasiswa semacam itu akan memetik hasil yang berbeda.
Itulah yang kemudian mendasari kegelisahanku saat ini. Sebagaimana filosof Yunani terhadulu yang gelisah pula melihat kebodohan yang menggumpal dalam tradisi mitologi yang lestari sebagai warisan nenek moyang, para minoritas kreatif itu lantas menerobos pakem dan berani keluar dari maenstream berpikir yang normal. Jadilah mereka filosof dikemudian hari, dan kepada mereka kita memberikan penghargaan yang tinggi. Di sadari atau tidak, itu semua bermula dari rasa gelisah seorang pribadi terhadap fakta dan kenyataan yang butuh penyikapan tertentu. Socrates di Athena adalah pribadi gelisah, dalam artian kegelisahannya mula-mula terasa sebagai kegelisahan yang sifatnya personal, akan tetapi kemudian berdiaspora menjadi kegelisahan komunal, meski komunal tidak dengan sendirinya berarti mayoritas.
Ya, gelisah memang tidak harus berjamaah. Cukup satu orang merasa gelisah, dan itu cukup untuk menggetarkan sendi-sendi peradaban ketika kegelisahan itu disikapi dengan baik. Dalam kontek ini, kegelisahanku merupakan pilihan pribadi. Dan hanya cukup untuk disikapi secara pribadi pula. Aku tidak takut terhadap pilihan ini karena tidak menyangkut kepentingan orang lain. Untuk kontek keilmuan, otonomi dalam memilih disiplin mana yang akan didalami memang sah dan dalam etika inilah rencana kepindahanku menemukan legitimasi.
Setiap manusia bertumbuh seiring perkembangan mentalitas dalam dirinya, dan itu terjadi dalam diriku dengan pola evolusionistis yang lamban. Hampir tidak terdeteksi oleh sensor dalam diriku bahwa tiga tahun aku belajar di jurusan yang merupakan pilihan pertamaku, aku menginginkan sesuatu yang lebih dari sekedar belajar filsafat dan tetek-bengeknya. Lebih dari itu aku ingin sesuatu yang bisa memuaskan keinginananku. Untuk itu bergumam. Tentang sebuah pilihan tentu.......salam!