Jumat, 06 Juni 2008

Mengenang Hari Kelahiran Soekarno

Gerilya Melawan Amnesia Sejarah

Facts as such have no meaning; they can gain it only through our decisions
(Karl Popper).

Semua orang berpendidikan yang hidup di masa setelah kemerdekaan tentu tidak sulit mengingat tanggal 06 Juni 1901 sebagai hari kelahiran Soekarno, proklamator kemerdekaan RI. Hal itu tidak aneh sebab di setiap lembar penulisan sejarah yang diajarkan di bangku-bangku pendidikan, Sokarno tertulis sebagai aktor yang berperan besar terhadap tercapainya kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Apa lagi ditunjang dengan posisinya secara politis sebagai presiden pertama RI, nama Sokarno tidak bisa tidak menjadi sangat populer di mata rakyatnya.
Akan tetapi, sejarah bukan hanya untuk diingat dan dihafal secara kognitif, tetapi lebih dari itu sejarah harus diapresiasi, dikritisi dan dihadirkan dalam kontek yang lebih baru. Begitu pun Soekarno yang lahir di Blitar Jawa Timur 106 tahun yang lalu. Sebagai aktor sejarah, hendaknya Soekerno tidak hanya menjadi romantisme masa lalu tanpa ada nilai yang bisa kita terus serap sebagai pelajaran, untuk kemudian nilai-nilai itu kita internalisasikan dan alih-fungsikan dalam kontek kekinian.
Proses Pelapukan
Namun mencermati fenomena dewasa ini, khususnya dalam kerangka berbangsa dan bernegara, agaknya fenomena amnesia sejarah yang justru terjadi. Soekarno sebatas menjadi figur yang disakralkan dengan segenap penghormatan yang dihadiahkan kepadanya oleh generasi-generasi setelahnya. Karir Soekerno dalam konstelasi pergerakan melawan kolonialisme dan imperealisme pada masa pra kemerdekaan yang begitu heroik memang mendapat pengakuan dari segenap elemen bangsa, tapi di sisi lain, aktivitas, kinerja serta dinamika perpolitikan belum merepsentasikan substansi penghormatan kepada pahlawannya, dan mencegah proses pelapukan sejarah yang melanda terutama para elit politik.
Kita hanya terbiasa memperingati hari-hari besar tokoh pejuang bangsa dan mengenang nama-nama besar pahlawan dari masa silam, tetapi pada esensinya belum mampu mengambil pesan moral, semangat, nilai etis, serta elan vital dari perjuangan para aktor sejarah seperti Soekarno, Hatta, Syharir, Tan Malaka, dan tokoh pejuang Indonesia lainnya.
Hal ini bisa kita tengok dari pencapaian pembangunan SDM kita secara umum, baik yang duduk di birokrasi maupun masyarakat sipil, apalagi di tingkat grossroot. Problem di level masyarakat bawah berupa tingginya angka kemiskinan dan pengangguran, besarnya jumlah masyarakat buta huruf disebabkan sulitnya akses pendidikan murah, serta lemahnya perekonomian yang berkorelasi pada meningkatnya angka kriminalitas, belum diikuti kemauan politik yang kuat oleh pemerintah. Jangankan political will, yang melanda birokrat justru sebuah ironi. Kesadaran hukum pejabat rendah, kedisiplinan menurun, hedonisme dan elitisme tumbuh subur, pelayanan terhadap publik buruk, kebijakan yang tidak memihak, manajemen kurang profesional, yang pada ujungnya bermuara kepada persoalan korupsi, penyelewengan serta penyalahgunaan kekuasaan.
Secara bijak harus diakui, fenomena itu tidak dengan sendirinya menimpa bangsa Indonesia, namun terdapat berbagai faktor yang berdiri di belakangnya dan bisa dijelaskan sebagai kesalahan segenap elemen bangsa kepada sejarah, terutama kepada para founding father. Setidaknya dua faktor bisa dihadirkan di sini dalam rangka koreksi bersama terhadap sekian problema kebangsaan.
Pertama, tercerabutnya kesadaran pemerintah terhadap amanat undang-undang yang menjadi fondasi sejak bangsa Indonesia merdeka. Kita sebagai bangsa, terutama para elit politik, tidak lagi mempunyai rasa tanggung jawab untuk menjalankan sistem konstitusi secara konsisten demi tegaknya civil society. Nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 45, yang dianggap konstitusi paling sakral di negara kita, telah terdistorsi oleh berbagai ekses kepentingan yang justru berlawanan terhadap kepentingan bangsa secara umum.
Kedua, absennya nalar reflektif terhadap sejarah itu sendiri, berupa sikap euforia mewarisi sebuah bangsa yang merdeka. Sikap euforia ini berimplikasi kepada nihilasi nilai-nilai perjuangan para Bapak Bangsa yang telah berupaya dengan segala perngorbanan besarnya untuk membentuk masyarakat yang terbebas dari ketidakadilan, penindasan, eksplotasi dan penjajahan. Nilai-nilai pengorbanan yang sakral itupun hanya kita maknai sebagai fakta sejarah yang linier tanpa nalar reflektif yang sekiranya membuat generasi pasca kemerdekaan berguru kepada sejarah. Alih-alih belajar, kehilangan kesadaran dan nalar reflektif terhadap sejarah justru mengkonstruk pola pemikiran dan sikap mental serba instan dan pragmatis.
Memaknai Sejarah
Soekarno, yang kita peringati hari lahirnya tanggal 06 Juni ini pernah berujar, ”Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati para pahlawannya”. Artinya, bangsa yang selalu menengok ke belakang, ke masa dimana spirit menjadi bangsa yang besar begitu menggebu seperti kita lihat pada masa pra kemerdekaan. Bangsa besar, menurut Soekarno adalah yang sedia belajar dari pahlawannya, baik dari segi patriotisme yang mereka gelorakan maupun dari sekian kesalahan yang juga mereka lakukan.
Dalam kontek politik-kebangsaan, peristiwa masa lalu itu merupakan sebuah momentum istimewa yang tidak bisa tidak harus diresapi dan dimaknai. Tanpa itu, sejarah, sebagaimana pendapat Karl Popper yang dikutip di awal tulisan ini, tidak akan bermakna apa-apa. Hal ini tentu juga berlaku dalam melihat sejarah Indonesia, termasuk yang berkaitan dengan Soekarno dan kiprah politisnya. Sebagai kenyataan sejarah, apa yang dilakukan oleh Soekarno selaku pejuang bukan lantas menguap ketika dia wafat. Akan tetapi sejauh mana dia menjadi inspirator, motivator, organisator, serta memberi pengaruh terhadap peta perpolitikan Indonesai pra dan pasca kemerdekaan patut menjadi catatan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Memperingati kelahiran Sokarno, secara sempit, kita bisa memaknai kembali sekaligus mengembalikan kesadaran untuk berefleksi dan mengambil hikmah dari Sang Putra Fajar secara personal dengan meneladani sikap dan prilaku positifnya berupa patriotisme, egalitarianisme, anti kolonialisme dan anti elitisme. Kualitas Sokarno secara pribadi penting kita apresiasi untuk memacu semangat generasi muda memberikan kontribusi bagi bangsanya, seperti Soekarno yang juga mengabdikan dirinya demi Indonesia yang amat dicintainya.
Namuan lebih dari itu, secara luas, momentum kelahiran figur sentral dalam perpolitikan awal Indonesia ini juga bisa dimaknai sebagai medium gerilya melawan amnesia sejarah. Yakni kesadaran terhadap sejarah Indonesia secara umum yang dibingkai dalam peta pertarungan melawan penjajah, karena Indonesia memang negara terjajah yang harus terlebih dahulu berdarah-darah membebaskan dirinya. Spirit itulah yang harus dimilik oleh bangsa Indonesia kini demi kuatnya civil society.