Senin, 09 Juni 2008

KRITIK TERHADAP METAFISIKA ARISTOTELES

Secara periodik, Aristoteles dikenal sebagai tokoh Yunani paling awal dalam penyusunan pemikiran metafisika secara sistematis. Dari pada Plato yang populer dengan teori Ide, Metafisika Aristoteles memiliki kajian lebih luas meliputi Universalitas, Esensi dan Forma, serta yang tak ketinggalan pemikirannya tentang Ketuhanan (Teologi) dengan mengintrodusir terminologi Kausa Prima. Meski dalam sejarah Aristoteles bukanlah tokoh pertama yang meletakkan patok pemikiran metafisik, karena gelar Bapak Metafisika telah tersemat di pundak Parmanides, seorang filsuf Mazhab Elea, namun kontribusinya dalam wacana filsafat metafisika tidak bisa dianggap kecil. Bahkan mungkin dialah tokoh yang paling besar kontribusinya terhadap evolusi perkembangan metafisika di Yunani Kuno.
Dalam perkembangan lebih lanjut, pemikirannya banyak dipuji dan mendapat banyak sekali apresiasi. Kita bisa melihat gagasannya tentang geosentrisme, suatu gagasan tentang bumi sebagai titik pusat tata surya. Pandangan ini bertahan sekian lama dan mendapat dukungan pula dari otoritas gereja di kemudian hari. Dibutuhkan sekitar puluhan abad untuk meruntuhkan konsepsi ini ketika Nikolas Kopernikus memperkenalkan teori Heliosentrime.
Makalah ini tidak akan membahas lebih lanjut ide geosentrisme Aristoteles yang secara abslolut tertolak oleh penemuan ilmu pengetahuan modern, akan tetapi berusaha membaca pemikiran metafisikanya yang hingga kini masih menjadi bahan diskusi menarik di kalangan intelektual. Berikut ini akan dibahas secara sistematis ide-ide metafisika Aristoteles yang tertuang dalam beberapa konsepsi tentang persoalan mendasar dalam cabang filsafat metafisika seperti Partikularitas dan Universalitas, serta Forma dan Materi. Kemudian akan diungkap bagaimana Aristoteles cenderung bersikap reduktif dalam argumennya, sehingga terdapat cacat dalam sistem filsafat menyangkut dua konsepsi filosofisnya tersebut.

Partikularitas dan Universalitas
Kedua terminologi di atas mengacu dan bertalian erat dengan teori Aristeoteles yang lain, yakni Forma dan Materi. Namun demi sistematisasi penulisan, kedua tema terakhir itu akan dibahas di bagian tersendiri. Partikularitas dimaksudkan untuk menyebut segala anasir yang terdapat dalam suatu realitas yang khas, yang menyusun identitas realitas itu sendiri. Partikularitas berkaitan dengan substansi. Sementara istilah Universalitas dimaksudkan untuk mengkomodikasi persamaan dan pertalian antara satu realitas dengan realitas lainnya, baik dalam aspek spesies, genus, atau dimensi bentuk dan atribut lainnya. Akan tetapi dalam pemikiran metafisik Aristoteles, universalitas tidak menjadi bagian dari forma, karena forma meski terdapat dalam segala realitas yang teraktualisasikan, bukan berarti eksistensinya menjadi milik universal dan bersifat umum. Artinya, bersama substansi, forma merupakan bagian dari partikularitas dengan perbedaan yang terdapat di antara keduanya.
Hingga taraf tertentu, teori tentang partikularitas dan universalitas sangat sederhana. Dalam bahasa ada nama-nama atau atribut yang menjadi tanda dari eksistensinya. Nama-nama ini mengacu kepada "benda-benda" atau "orang-orang" yang masing-masing adalah benda atau orang yang diacu oleh tanda tersebut. Matahari, bulan, Prancis, Indonesia, Soekarno adalah partikularitas karena tak ada sekumpulan benda-benda yang diacu oleh nama-nama itu. Di lain pihak, nama seperti kucing, anjing, negara, manusia, mengacu pada benda-benda yang berbeda-beda, dan oleh karenya universal.
Jadi, universalitas berkaitan dengan makna kata-kata itu, serta berkaitan dengan kata-kata sifat seperti putih, keras, bundar, dan sebagainya. Aristoteles mengatakan, "Dengan istilah universalitas saya maksudkan suatu ciri yang dapat dipredikatkan pada banyak subyek, sedangkan partikularitas adalah sesuatu yang tidak bisa dipredikatkan." Yang partikular berkaitan dengan Nama Diri, yaitu suatu entitas yang personal. Sementara universalitas berkaitan dengan suatu keumuman atau kelompok.
Dari segi rujukan (reference), nama diri mengacu kepada "substansi", sementara yang dirujuk oleh kata sifat yang universal adalah nama kelompok. Bertrand Russell mengambil contoh permainan sepak bola untuk menjelaskan teori universalitas dan partikularitas ini. Permainan sepak bola adalah suatu universalitas karena merujuk kepada suatu aspek global atau aspek yang mendunia karena tidak terikat kepada kontek ruang dan waktu dimana permainan itu dilansungkan. Sementara mengatakan bahwa permainan sepak bola tanpa eksisnya pemain yang memainkan olah raga itu, maka hal itu tidak bisa diterima akal. Pemain sepak bola merupakan partikularitas sejauh dia terikat kepada person, manusia, dalam kontek kapan dan dimana manusia itu bermain. Dan itu merupakan hal yang partikular. Ronaldo, Zidane, Beckham dan lain-lain merupakan partikularitas.
Zidane akan tetap Zidane meski selama hidupnya dia tidak pernah menjadi pemain sepak bola. Zidane tidak akan berhenti menjadi dirinya hanya karena dia kebetulan tidak pernah senang olah raga apapun. Begitu pun sebaliknya, sepak bola akan tetap eksis meski Zidane atau Ronaldo tidak pernah lahir ke dunia. Dengan cara ini, Aristoteles membuktikan ketiadaaan hubungan timbal balik antara universalitas dan partikularitas.
Namun penting dicatat, tidak berarti universalitas bisa hadir tanpa subyek yang partikular, begitupun partikularitas tidak mungkin muncul tanpa universalitas. Dengan kata lain, sepak bola bisa tetap eksis meski tanpa Zidane, akan tetapi tidak mungkin eksis tanpa ada orang yang memainkannya sama sekali. Sama halnya dengan kita mengatakan bahwa biru masih bisa eksis meski tidak ada langit atau lautan yang merepresentasikan kualitas warna tersebut, karena warna biru bisa melekat pada benda lain. Namun tidak mungkin warna tersebut eksis tanpa suatu subyek yang menampung keberadaannya. Suatu subyek itulah partikularitas, dan warna biru adalah universalitas. Kualitas warna biru, dengan demikian, merupakan universalitas yang melekat pada partilukularitas, seperti langit, lautan, atau pada suatu baju.
Contoh lain, "Moh. Sanusi adalah mahasiswa Ushuluddin yang Bodoh, Sementara Fulan adalah mahasiswa Ushuluddin yang Pandai." Dengan cara pandang Aristoles, "Moh. Sanusi" dan "Fulan" adalah partikular, dan karenanya merupakan substansi, sementara "Bodoh" dan "Pandai" merupakan universalitas, dan karenanya bukan merupakan substansi, sebab sewaktu-waktu bisa hilang dari kedua orang tersebut, ketika Fulan belajar dengan giat sementara Moh. Sanusi tidak lagi mau belajar.
Dalam analisis lebih jauh, setiap benda, selain mempunya dimensi sifat-sifat universal yang melekat pada suatu subyek, dalam dirinya subyek itu juga mempunyai bahan dasar (substratum) dimana kepadanya aspek universal tadi melekat. Inilah yang diklaimnya sebagai substansi. Suatu bahan dasar yang tidak lenyap meski sifat-sifat unirvesal tadi telah lenyap. Contoh tambahan, misalnya Aristoteles menjadi uban atau botak di hari tuanya, tidak seperti ketika di masa muda dia memiliki rambut hitam yang lebat. Dalam teori ini, dia akan tetap sebagai Aristoteles. Akan tetapi beda apabila Aristoteles berubah menjadi seekor Kodok, dimana hal ini tentu saja berbeda dengan ketika Aristoteles masih sebagai manusia atau filosof, maka dia tidak lagi bisa dikatan Aristoteles, sebab bahan dasar yang partikular tadi telah berubah atau lenyap.
Pemikiran ini menyisakan celah dan kelemahan, sebab partikularitas yang diasumsikan Aristoteles sebagai substansi, justru kabur dan tidak bisa teridentifikasi secara obyektif. Mengatakan bahwa subyek yang menanggung atribut universalitas bisa saja melepaskan universalitasnya itu tanpa kehilangan dimensi partikularitasnya adalah pemikiran yang cacat, sebab bagaimana kita bisa mendeteksi partikularitas itu kecuali sebuah entitas yang juga dimiliki masing-maisng individu. Entitas personal pada diri Moh. Sanusi misalnya, adalah entitas yang juga dimiliki oleh orang lain. Katakanlah hidung, mata, alis, atau hal yang berkaitan dengan organ tubuh adalah juga dimiliki orang lain. Dalam hal ini kedirian (personality) Moh. Sanusi sama seperti kedirian Fulan, Aristoteles atau orang lain, yang juga sama-sama memiliki mata, hidung, mulut dan organ lainnya. Lalu dengan apa kita bisa mengatakan bahwa Moh. Sanusi dan Fulan merukan dua pribadi yang masing-masingnya diidentifikasi sebagai yang partikular, dan karenanya memiliki substansi berbeda? Benarkah jika kita mengatakan bahwa Moh. Sanusi dan Fulan merupakan universalitas, karena keduanya tidak benar-benar memiliki hal yang partikular yang khas dalam dirinya sendiri?
Dalam hal ini, kesalahan Aristoteles adalah tidak merinci secara detail mana atribut dari subyek yang diasumsikan sebagai partikular. Pengaburan standar ini berbahaya karena berpotensi terjebak kepada category mistake seperti yang disinyalir Gilbert Ryle. Kategori hidung, mata, telinga, dan organ lainnya tidak seharusnya dilihat sebagai yang partikular lagi karena dalam skop manusia, organ-organ tersebut masih bersifat universal. Begitupun jiwa, pengalaman, emosi, ide atau situasi mental yang terdapat dalam masing-masing orang. Setiap orang memiliki hal tersebut, dan dalam hal tertentu, pengalaman mereka masih bisa dikatakan universal, bukan partikular. Pengalaman cinta, misalnya, adalah gejala universal. Lalu sampai sejauh mana Moh. Sanusi dan Fulan memiliki pengalaman cinta yang sama dan bersifat partikular? Inilah yang dilalaikan Aristoteles, bahwa detail atau standar yang obyektif belum dia upayakan dalam pembedaan (distance) yang jelas (distinct).

Forma dan Materi
Persoalan selanjutnya dalam metafisika Aristoteles adalah pembedaan forma (form) dan materi (matter). Materi di sini bukan dalam pengertian materi yang berlawanan dengan jiwa, akan tetapi materi yang berlawanan dengan forma atau bentuk. Sama seperti kasus universalitas dan partikularitas di atas, persoalannya pada mulanya sederhana. Yakni pilihan Aristoteles menarik garis demarkasi atau pembedaan antara forma atau bentuk dengan materi. Seperti yang dicontohkan Bertrand Russell, tentang sebuah arca yang terbuat dari pualam. Dalam hal ini pualam adalah materi, sementara bentuk arca yang diciptakan oleh seorang pemahat merupakan forma. Atau mengambil contoh dari Aristoteles, jika seorang membuat bola perunggu, maka perunggu adalah materi, dan sifat kebolaan atau bundar adalah forma. Dalam kasus lain, kita bisa mengatakan bahwa paku yang bentuk bulat-lonjong adalah paku. Baja yang merupakan bahan dari paku adalah materi, sementara bulat-lonjong yang merupakan dimensi dari paku adalah forma.
Dalam pandangan Aristoteles, berkat forma, materi bisa menjadi suatu tertentu, dan inilah substansi sesuatu. Sesuatu materi harus terbatas, dan batas inilah yang dia sebut formanya. Kita tidak bisa melihat materi tanpa sekaligus melihat formanya. Karena forma adalah aktualitas dari setiap materi yang ditangkap oleh indera. Perubahan dari pualam menuju arca adalah perubahan forma, yang dengan itu berarti merupakan perubahan dari potensialitas menuju aktualitas. Sebab, dalam bagian tertentu, pualam tadi tidak mengalami perubahan seperti keadaannya semula sebagai bongkahan batu.
Sejauh ini, konsep ini memang sangat masuk akal. Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, banyak kekeliruan yang patut kita cermati. Seperti apa yang dikatakan Aristoteles bahwa forma merupakan substansi, dan oleh karenanya bukan universal. Dan kerena forma merupakan substansi, maka konsekuensi logisnya forma tidak pernah sama antara yang satu dengan yang lain, karena semua substansi tidak akan pernah bisa dirujuk dalam konteks universalitas. Kelemahannya adalah bahwa bukan mustahil manusia menciptakan forma yang persis sama antara satu benda dengan benda yang lain. Bukan hanya itu, manusia modern, dengan bantuan mesin cetak atau mesin produksi berteknologi tinggi, bisa menciptakan forma yang sama meski dengan materi yang berbeda. Sebagai contoh, dua Patung tokoh terkenal yang terbuat dari lilin dan patung yang terbuat dari perunggu bisa dijadikan contoh. Dari segi materi, lilin dan perunggu jelas berbeda, akan tetapi bukan perkara sulit membuat patung dari kedua bahan berbeda tersebut ke dalam bentuk kembar yang persis sama.
Sampai di sini, pendirian Arisoteles bahwa tidak mungkin ada forma yang persis sama, telah runtuh. Dan pandangan Aristoteles sendiri bahwa forma merupakan substansi yang darinya benda-benda mengaktualkan dirinya otomatis juga kehilangan relevansinya secara signifikan. Jika forma betul-betul substansi, tentu tidak ada kemiripan antara yang satu dengan yang lain karena substansi tidak mungkin diduplikasi. Dengan catatan bahwa kita menganalisa persoalan ini dengan kosisten mengadopsi sistem pemikiran Aristoteles sendiri tentang partikularitas dan universalitas seperti yang diuraikan di atas.
Selanjutnya dikatakan bahwa forma tidak diciptakan, yang dilakukan hanyalah menyatukan materi dan forma, karena menurut Aristoteles forma adalah eksis sebagai faktor mendasar untuk mengaktualisasikan potensi materi. Dalam kasus arca pualam, potensi adalah pualamnya, sementara aktualisasinya merupakan forma atau bentuk arca. Yang dilakukan pemahat hanyalah menggabungkan keduanya, yakni materi dan forma, bukan menciptakan. Berbagai hal meningkat aktualisasinya karena menerima forma; materi tanpa forma hanya berupa potensi, demikian pemikiran Aristoteles.
Hal ini juga rancu karena bagaimana mungkin forma lebih real dari materi hanya karena alasan bahwa forma merupakan substansi yang terpisah dari materi. Dalam hal ini Aristoteles belum sampai kepada alternatif pemikiran bahwa forma sebenarnya merupakan aksiden saja dari adanya materi. Konsekuensi logis bahwa apa bila materi ada, maka forma juga ada sebagai akibat dari eksistensinya. Kedua hal ini tidak bisa saling mendahului, apa lagi dibalik, dengan mengatakan ketika forma tercipta, maka eksistensi materi kemudian teraktualisasi.
Indra kita tidak bisa berinteraksi dengan materi tertentu tanpa berurusan dengan forma sekaligus materinya. Tangan manusia tetap mampu menyentuh suatu materi dengan tangannya, atau membaui dengan hidungnya, meski forma itu sendiri tidak diketahui dengan jelas. Tapi bukan berarti formanya tidaka ada. Begitupun bagi orang buta, forma bagi orang buta tidak bisa dinilai eksis, atau minimal lebih eksis materinya ketimbang formanya, namun jelas hal itu merupakan pandangan yang jauh dari sikap obyektif.

Penutup
Dengan demikian, persoalan forma dan dalam sistem filsafat Aristoteles kemudian tidak bisa mengabaikan unifikasi, yakni saling hubungan, dan bukan distansi. Tidak ada yang lebih real antara materi dan forma, karena semuanya satu tanpa dapat didistorsi ke dalam superioritas satu entitas saja. Dalam hal ini, pernyataan Aristoteles bahwa forma lebih real ketimbang materi telah tertolak. Begitupun tentang pembedaan (distance) antara universalitas dan partikularitas yang menurut penulis juga masih reduktif.
Maka jelaslah, inkonsistensi dalam pemikiran metafisika Aristoteles, khususnya dalam pembahasan tentang tema-tema yang dibahas seperti di atas. Diferensiasi yang dibuat olehnya terbukti mulai tidak proporsional, seperti yang diuraikan dalam pembahasan tentang forma dan materi di atas. Oleh karena itulah, kritik di sini layak dilihat sebagai pembacaan terhadap kemungkinan lain dari seorang pemikir besar Yunani Kuno.
Dalam Kamusku Tinggal Namamu

Angin datang sore-sore
Memberi harum yang asing
Barangkali bunga sedang mekar
Sekuntum bunga yang lain?
Segalanya terjawab dalam detik pertama kau datang
Angin tiba-tiba menepi
Hujan urung berderai
Bunga jadi layu di depan bibirmu
Kau ratakan nuansa di lubuk mata
Lewat bibirmu kutelan rasa kagumku
Kau mengibas udara dengan lembut gerakmu
Tak ada yang berdetak
Walau kata sebenarnya tak berkurang
Dalam kamusku tiba-tiba hanya tinggal namamu

Naja Kosan, 12-Desember 2007




Di Ujung Segala

Langit mengiringku selalu
Merebut satu kesempatan saling bertatap
Kecil harapan terus bicara
Meski waktu terus terhimpit
Dari Timur ku tahu asalmu
Dari mana harus kujawab datangnya rindu?
Oh, pelepah yang hampir rontok ini
Menunggu sentuhan tangan terakhir agar tetap kokoh
Bayangan manusia semakin tua
Angin pun tampak angkuhnya
Kecuali waktu terjepit di belakang Matahari
Aku hampir tak punya lagi tenaga
Untuk mengejarmu
Menahan pelepah dengan sisa kekuatan dan waktu

Naja Kosan, 12-Desember 2007

Kredo Cinta Buku Tanpa Membaca



Antara pedagang dan pembaca buku, siapakah sebenarnya yang lebih mencintai buku? Jika pertanyaan itu diajukan pada kita, mayoritas pasti akan menjawab, pembaca buku lebih etis mendapat predikat sebagai pecinta buku.
Pasalnya, pembaca buku adalah pribadi-pribadi yang rela merogoh kocek, meluangkan waktu, bersedia dalam kesendirian, serta mengerahkan tenaga pikiran sambil berkonsentrasi sekedar untuk mengakrabi semesta buku. Aktivitas bolak-bolik antara membaca dan membeli buku, mengapresiasikan dan menganktualisasikan isi buku, merupakan ekspresi cinta seseorang terhadap buku. Frekuensi membeli dan membaca, dengan demikian, menjadi parameter seberapa besar cinta dan keintiman seseorang akan buku.
Berbeda dengan pembaca buku, rutinitas pedagang buku sama sekali jauh dari kesibukan membaca, memahami, mengapresiasi, dan mengaktulisasikan apa yang mungkin di dapat dalam tiap judul buku di etalase mereka. Seperti umumnya pedagang, nalar pedagang buku adalah nalar profit, dengan strategi memainkan modal menjadi laba. Konsekuensinya, seberapa tinggi tingkat frekuensi pedagang membeli buku, tidak menunjukkan kecintaannya akan buku, karena motif pedagang adalah profit.
Di tangan pembacanya, buku merupakan barang mentah dimana gagasannya harus diolah terlebih dahulu (baca:diaktualkan) untuk diproduksi menjadi bentuk komoditas baru, baik itu komoditas bisnis, intelektual, atau bahkan spiritual. Sementara di tangan pedagang, tiap judul buku adalah komoditas itu sendiri, tak lebih dari barang hasil produksi yang sudah final dan jadi, yang disetting menurut logika pasar untuk menggelembungkan aset. Membeli buku bagi pembaca adalah proyek masa depan, sementara membeli dan menjual buku bagi pedagang adalah proyek hari ini.
Sampai di sini kita masih bertahan dengan mindset lama bahwa pecinta buku adalah mereka khalayak publik dari berbagai usia yang melek aksara, yang menjadikan buku sebagai pengisi kekosongan pemahaman akan realitas. Selama ini kita berada di tengah pusaran frame yang menegaskan bahwa pembaca butuh buku untuk menyatakan identitasnya, sementara buku di sisi lain juga butuh pembaca untuk menuju titik eksistensinya yang tertinggi. Pembaca tanpa buku adalah nonsens, buku tanpa pembaca mungkin cuma "sampah." Hipotesa ini diperkuat oleh Joseph Bordsky sebagaimana dikutip Anton Kurnia (2005). Katanya, "Membakar buku adalah sebuah kejahatan, tapi lebih jahat lagi orang yang membiarkan buku tidak dibaca."
Namun hal itu bukan tidak bisa berubah. Konstruk relasi buku-pembaca seperti di atas akan mengalami koreksi ketika dimungkinkannya sebuah perspektif baru dalam cara kita memandang. Relasi buku-pembaca yang mensyaratkan adanya entitas cinta seperti yang kita pahami selama ini sebenarnya parsial karena tidak menyingkap realitas sebenarnya. Jika dicermati lebih jauh, tidak melulu lewat membaca sesungguhnya manusia dapat menghargai buku, tetapi lewat aktivitas di sekitar buku pula, seperti yang dilakukan pedagang buku, ditemukan kesadaran cinta akan buku.
Di Jogjakarta, seoarang pedagang buku pantas menyandang penghargaan sebagi pedagang cinta buku. Yusuf Agency, begitulah perusahaannya ia beri nama, yang merupakan inisial dari namanya sendiri. Yusuf Agency merupakan agen penjualan "buku ramah pembaca" beraset lebih dari Rp.1 Milyar. Mantan pedagang buku asongan namun kini nasibnya membaik itu memiliki spirit cinta buku yang luar biasa, meski semua orang tau, dia tidak pernah menjadi pembaca dalam arti yang sebenarnya.
Yusuf Agency awalnya menjadi pemborong buku-buku yang gagal di pasar, yang stoknya menumpuk di gudang-gudang penerbit dan distributor. Namun lama-kelamaan buku-buku baru dengan kwalitas bagus juga disediakan, tentu dengan harganya yang berbeda bahkan dari penerbitnya sendiri. Yusuf Agency selalu berjaya ketika diselenggarakan event-event pameran buku di kota-kota besar seperti Jogjakarta, Solo, Malang, Surabaya, Semarang, Bandung, bahkan Jakarta. Memang hanya waktu pameran itulah perusahaan itu melayani pembeli
Agen pemasaran buku tersebut kerap menempelkan slogan provokatif yang membuat sesama saingan bisnisnya bergidik, slogan itu berbunyi; "Obral Buku Termurah se-Indonesia. Cuma Selama Pameran!" Dan itu bisa dibuktikan dengan membludaknya pengunjung di stand tersebut.
Tulisan ini tidak ingin mengulas profil Yusuf Agency secara detail mulai dari awal berdirinya hingga masa saat ini. Hanya saja, seorang pedagang buku seperti dirinya, dimana perhatian besarnya terhadap buku hanya dicurahkan untuk aktivitas selain membaca, masih dengan bangga mengatakan, "Dari saking cintanya sama buku, kemana-mana saya bawa buku. Siapa tahu ada orang butuh untuk dibaca", katanya. "Bahkan ketika chek-up ke rumah sakit, buku juga saya sertakan di mobil."
Kenyataan bahwa buku mempunyai nilai serta fungsi yang beragam bagi pembacanya, hingga karenanya memiliki daya tawar yang tidak rendah, mungkin menjadi motif tersendiri bagi tiap pedagang untuk total menekuni bisnis perbukuan. Tapi bukan itu semata yang menjadikan Yusuf Agency menjalin hubungan intim dengan buku. Pertarungan bisnis sebelum buku akhirnya dapat sampai ke tangan pembaca adalah momentum yang menegaskan karakter Yusuf Agency. Apakah menjaga budaya membaca masyarakat tetap tinggi dengan berusaha menghadirkan "buku ramah pembaca" sesuai tingkat ekonomi masyarakat, atau justru menjaga tradisi tiranik bisnis dunia perbukuan yang kerap disusupi hantu kapitalis? Jika pilihan jatuh pada yang pertama, hal tersebut akan menempatkan pedagang buku di posisi terhormat, seperti yang telah dirintis Yusuf Agency.
Ada beberapa hal harus dipenuhi untuk sampai kepada kearifan pedagang buku. Di antaranya adalah keberanian pedagang bertarung dengan kecendrungan pasar yang bengis untuk menyediakan buku dengan harga di bawah rata-rata. Strateginya ialah memutar modal dengan cepat dengan cara memperkecil selesih harga jual dan harga beli. Dalam bisnis dunia perbukuan yang lamban, strategi tersebur terbilang cukup cerdas. Jika pedagang, pengasong, atau pengusaha buku sanggup berbuat demikian, "credo cinta buku tanpa membaca" pantas ia sematkan. Dan untuk itu, sedikit banyak, Yusuf Agency telah mencoba merintisnya, bukan dengan menjual buku-buku murah tidak berkualitas, tetapi tetap dengan upaya menghadirkan buku-buku bermutu dengan harga yang lebih "ramah".